[38] Jadi, Dina Anjani Siapa?

1.3K 81 1
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya😊

***

Dua motor melaju cepat di sisi kiri dan kanannya, menyebarkan asap polusi dari masing-masing knalpot motor tersebut. Nata terbatuk-batuk dibuatnya lalu merapatkan kaca helm dan berancang-ancang siap membalas.

Mobil box es krim di depannya sudah berbelok lebih dulu, penunjuk angka di lampu lalu lintas sebentar lagi akan berganti merah. Oke, tinggal menyalip dua mobil di depannya Nata bisa langsung mengikuti dua motor yang lebih dulu melaju itu.

"Oh yeah!" soraknya tertahan oleh suara bising klakson dua mobil yang baru saja ia salip. Ia memekik senang, dengan gesit menyalip dari kiri lalu kanan dan kiri lagi, lewat di antara sela kecil yang hanya muat oleh sepeda motor maticnya dengan kecepatan konstan. Entah apa yang di pikirkan sang supir mobil tersebut, Nata tak peduli. Toh, paling hanya sepotong kalimat sumpah serapah. Ia sudah paham dan mengerti akan hal itu.

Motor trail hijau itu sudah tertinggal jauh di belakangnya, sekarang tinggal si pengendara ninja putih yang masih setia standby beberapa meter di depan. Mulai berkelok ke kiri dan memasuki gang-gang sempit. Arena balapan dadakan ini benar-benar gila. Kalau sampai Bang Genta tahu bisa habis ia dicecar omelan. Sekarang jam pulang kantor, bisa di pastikan jalanan ramai kendaraan dan dengan gilanya Nata menerima ajakan dari Gery dan Willy untuk balapan liar. Wah, triple crazy!

Ninja putih milik Willy terus melaju melewati perkampungan sempit dan suara riuh ibu-ibu yang meneriaki kegilaan mereka berkendara dengan kecepatan tidak bisa di bilang lambat melewati jalanan aspal yang sudah banyak terkelupas. Nata terkekeh-kekeh, terlebih lagi motor trail hijau milik Gery di lempari potongan sayuran dari ibu-ibu yang sudah sangat murka itu.

Willy terus melaju tak mengurangi sedikitpun kecepatan sepeda motornya. Nata terus mengikuti dengan Gery di belakangnya. Ia tidak bisa menyelip begitu saja di sini. Jalanannya terlalu sempit dan Nata tidak ingin dilempari juga oleh ibu-ibu karena keributan yang mereka buat. Yang patut di salahkan di sini hanya lah Gery sebab knalpot motor trailnya itu benar-benar memekakkan telinga.

Jalanan aspal yang terkelupas itu sudah terganti dengan kerikil-kerikil kecil dan bebatuan. Beberapa terdapat lubang-lubang besar yang bila hujan membuatnya tergenang. Untung saja hari ini tidak hujan. Rumah-rumah yang berdempet ala perkampungan tadi sudah terganti dengan pepohonan di sisi kiri dan kanan Nata. Keningnya berkerut heran, ingin sekali ia melontarkan satu pertanyaan tapi urung seketika melihat seberkas kilauan di depan sana. Ia memekik takjub dan beberapa kali berseru. "Woah daebak!"

Gery menaikkan satu alisnya setelah mendengar seruan Nata tadi. Apa? Tebak? Apa artinya? Atau itu termasuk dalam frasa Korea yang akhir-akhir ini sering Nata sebut sebab menonton berepisode-episode serial drama Korea.

Terik matahari tak luput menghilangkan semangat Nata. Segera setelah mematikan mesin motornya dan mencopot helm ia berlari menuju kilauan cahaya yang tadi di lihatnya. Kilauan itu ialah pantulan cahaya matahari dari air danau di hadapannya ini. Sepoi-sepoi angin menerbangkan rambut Nata yang dibiarkan tergerai. Gadis itu menatap takjub ke sekelilingnya. Wah, pemandangan yang langka. Danau di tengah-tengah hiruk pikuk kota. Keren!

Ia mengikuti langkah Willy menuju pohon rindang di ujung danau. Ikut berbaring di rerumputan hijau dengan atap dedaunan pohon yang melindungi mereka dari terpaan sinar matahari. "Gila! Keren banget!" seru Nata senang. Willy hanya terkekeh sebagai respon lalu menjadikan ke dua lengannya sebagai bantal dan mulai memejamkan mata.

Gery ikut berbaring di samping Nata. Mengusap rambut gadis itu. "Gimana, suka?" Nata mengangguk antusias. Bagaimana ia tidak suka? Di ajak balapan di tengah jalan yang ramai saat jam-jam sibuk seperti ini lalu mendapati tempat yang masih menyisakan udara segar dan memanjakan mata. Bagian mana yang Nata tak suka? Tak ada!

Ia bergerak mendekat pada Gery, menjadikan lengan cowok itu sebagai bantal lalu mulai memejamkan mata. Menghilangkan sejenak beban pikiran yang akhir-akhir ini memenuhi benaknya.

Sekelabat bayangan Dina singgah di benaknya. Ingin sekali ia menanyakan perihal siapa Dina sebenarnya pada Gery tapi urung ketika suara yang sakral dari perut Willy bergema. "Anjir!" Willy mengumpat pelan lalu terkekeh. Cowok itu tetap memejamkan matanya dengan lirih ia bergumam. "Gue laper."

Nata mengangguk, mengiyakan gumaman Willy tadi. "Aku juga." Lalu membalikkan badan, menghadap pada Gery dengan tampang memohon minta dibelikan makanan. Gery hanya acuh, meskipun berkali-kali Nata menusuk-nusuk pipi cowok itu dengan jarinya. "Gee, laper ih!" Dan mulai melayangkan cubitan pada tubuh cowok itu. Gery menggeliat lalu duduk dan menahan tangan Nata. "Oke, oke. Mau makan apa?"

Nata tampak terdiam, memikirkan makanan apa yang sesuai dengan lokasi dan suasana hatinya sekarang. "Apa ya?"

"Batagor, siomay." Celetuk Willy cepat memberi pilihan.

"Iya, beli dua-duanya ya Gee. Ya. Ya." Nata mengguncang lengan Gery seraya mengedip-ngedipkan mata genit.

Helaan napas pasrah Gery lakukan. Apa daya, ia tak bisa menolak permintaan Nata. Kalau Willy sih, mau dia laper kek, apa kek terserah!

"Oke." Gery bangkit berdiri meraih kunci motornya. "Kamu di sini aja, jangan kemana-mana." Titahnya pada Nata, setelah melihat gadisnya mengangguk ia beralih menendang pelan kaki Willy. "Lo juga jangan kemana-mana. Jagain cewek gue!"

"Hm." Anggukan dan dehaman pelan Willy berikan sebagai tanggapan.

Nata melambai kemudian berseru. "Cepetan yah!" Dan mendapati acungan ibu jari dari cowok itu. Setelah motor trail hijau milik Gery hilang dari pandangannya. Ia beralih pada Willy, apakah ia harus menanyakan tentang eksistensi Dina pada Willy saja, ya?

Boleh di coba. Sebab Gery pernah cerita kalau Willy ini teman baiknya dari SMP. Bukannya teman baik itu mengetahui sedikit banyak cerita dari kehidupan masa lalu kita, benarkan? Pastinya Willy tahu siapa itu Dina. Oke, Nata akan memulai. Ia merubah posisinya, menyerong menatap Willy. "Will!" panggilnya.

Willy bergeming, cowok itu tampaknya tidur. "Willy!!" seru Nata lagi.

"Hm." Sungguh, terkadang Nata tidak suka saat seruannya di balas hanya dengan dehaman seperti itu. Sekali lagi ia mencoba dan Willy melakukan dehaman lagi. Oh, sepertinya cowok itu perlu diberi pelajaran.

Buk buk buk!

"Ahrg, anjir! Gila ni ceweknya Gery. Lo mau bunuh gua?" Willy terduduk, mengerang seraya mengusap pelan perutnya bekas tabuhan gendang dadakan dari Nata.

Cewek itu mencebik. "Alah, lemah lo!"

"Apa lo bilang?"

"Lo lemah."

"Kampret!" Willy mendesis, melemparkan tatapan kesal pada Nata. "Apaan tadi manggil-manggil? Gue gak mau jadi pacar gelap lo kalau itu yang lo minta!" ketusnya dan memalingkan wajah dari Nata.

Setelahnya bisa di pastikan, Willy kembali di gebuki Nata. "Apa lo kata? Gue juga gak mau sama lo!"

Sekali lagi layangan tatapan tajam Willy berikan untuk Nata. "Apalagi gue!"

Sepertinya perdebatan ini kalau diteruskan tidak akan berhenti sampai minggu depan. Nata mengalah, lebih baik ia menanyakan perihal tentang Dina sekarang. "Stop, gue capek. Tapi, gue mau nanya serius sama lo. Lo harus jawab jujur dan gak boleh ada kebohongan sedikit pun!"

Awalnya Willy tampak acuh, tapi setelah pelototan yang diberi Nata untuknya ia coba untuk mendengar apa pertanyaan serius yang ingin di ajukan cewek itu. "Oke, lo mau nanya apa?"

Nata menarik napas terlebih dahulu sebelum melontarkan pertanyaan serius tersebut. "Dina Anjani, siapa?"

***

Gee or Zee [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang