[19] Alasan Fauzan Pergi

1.6K 111 3
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya😊

***

"Nata mana?" tanya Gery saat jam istirahat di kantin. Setelah tak mendapati keberadaan Nata di kelas cewek itu, Gery langsung ke kantin dan menemukan Via dan Sisy yang tampak kebingungan saat ditanya. Mereka berdua serempak menggeleng. "Gak tau, tadi pagi juga Nata gak masuk. Gak ada kabar juga," sahut Via terlebih dahulu.

"Iya, gue udah chat dan telfon nomor dia. Tapi, gak ada balasan dan nomornya juga gak aktif, gue khawatir Nata kenapa-napa." Lanjut Sisy dengan raut khawatir yang kentara.

Gery memejamkan mata lelah. Lalu mengusap wajahnya kasar dan menghela napas panjang. Cowok itu tampak panik luar biasa, segera ia rogoh saku celananya. Mengambil benda pipih tersebut lantas menyentuh layarnya dengan gusar.

Gery berbalik, melangkah cepat menuju kelasnya dengan ponsel menempel di telinga kirinya. Beberapa kali ia tak sengaja menabrak orang yang berlalu lalang di koridor menuju kelasnya. Saking paniknya ia sampai tidak fokus dengan langkah kakinya sendiri, hampir saja ia tersandung kakinya saat menuruni anak tangga. "Ya ampun!" jeritnya frustasi. Setengah berlari Gery masuk ke kelasnya lantas meraih tas ranselnya dan di sandang asal.

"Mau kemana lo?" tanya Rio nyaring karna secepat kilat pula Gery keluar dari kelasnya dan tak menjawab seruan Rio.

***

"Zan, lo tidur? Apa udah mati?" tanya Nata sambil menggerakkan bahunya yang otomatis mengenai bahu Fauzan juga yang tepat di belakangnya. "Zan lo kok diem aja? Lo mati, ya?" tanya Nata lagi. Cewek itu mulai panik lantas ia menoleh ke belakang dan hanya mendapati kepala cowok itu tertunduk. "Zan jangan bercanda gini dong, jangan bikin gue takut," cicit Nata pelan, perlahan air matanya mulai menggenang siap luruh kapan saja.

Fauzan masih diam. "Zan, lo masih hidup, kan?" tanya Nata lagi dengan lebih lirih, satu persatu air mata itu luruh dan membasahi ke dua pipi chubbynya. "Zan, jangan mati dong. Gue takut," ujarnya sendu di sela isak tangisnya yang mulai terdengar.

Dirasanya punggung Fauzan bergerak. Lalu terdengar suara ringisan pelan di balik punggungnya. Nata segera menoleh ke belakang dan mendapati pipi penuh lebam serta mata sayu cowok itu. Sontak air mata Nata semakin luruh dengan senyum lebar menghiasi bibirnya. Kalau tidak sedang terikat bisa saja Nata langsung memeluk cowok itu sekarang juga. Pipi mereka bersentuhan. Ada sengatan hangat yang di rasa Fauzan meskipun sedikit basah karna air mata cewek itu belum kering. Rasa pening yang sempat menderanya perlahan hilang diganti rasa senang tiada tara.

"Zan lo gak papa, kan? Lo gak mati, kan? Lo masih hidup, kan?" tanya Nata beruntun. Fauzan hanya bisa terkekeh pelan lalu menjawab dengan lirih. "Nanyanya satu-satu dong Ta."

"Zan, lo sakit? Suara lo kok jadi lemah gitu?" tanya Nata khawatir, genangan air mata yang sempat terhenti tadi kembali terkumpul, siap untuk terjun kapan saja. "Gak kok," jawab Fauzan sambil tersenyum. "Jangan nangis lagi ya, gue di sini ada buat lo. Jangan ngerasa takut karna selalu ada gue di hati lo, Ta."

Perkataan Fauzan barusan benar-benar membuat bulu kuduknya meremang. Diliriknya lagi Fauzan yang kembali menundukkan kepalanya. Terdengar cowok itu menghirup napas susah payah. Air matanya kembali terjun bebas. "Zan, jangan mati di sini gue mohon," ujarnya kembali terisak.

Bersusah payah ia memberontak agar tali-tali yang menjeratnya dengan Fauzan terlepas. Tapi, usahanya sia-sia saja, ikatan itu terlalu kuat. Mengunci kuat tubuh Nata dan Fauzan. Yang Nata inginkan sekarang hanyalah terlepas dari tali ini dan membawa Fauzan ke pelukannya. Ia benar-benar takut sekarang. Suara Fauzan tak lagi terdengar. Sepertinya cowok itu pingsan atau mungkin tidur? Dilihat dari luka lebam di pipi sebelah kanannya, Nata rasa bagian tubuh lain cowok itu memiliki luka yang lebih parah. Agaknya itu yang membuat Fauzan melemah.

Terlebih lagi, sebelum kejadian penyekapan ini. Fauzan terlibat baku hantam juga dan membuat beberapa luka di tubuhnya ditambah lagi luka-luka baru yang dibuat oleh dua orang berbadan besar kemarin. Fauzan benar-benar sekarat sekarang. Kalau bukan karna dirinya pasti Fauzan tak akan seperti ini. Kali ini Nata menangis sambil menyalahkan dirinya sendiri. Kalau sampai Fauzan mati di sini, ini benar-benar kesalahannya.

"Ta, lo tau yang kemaren malem gue ke rumah lo dengan keadaan babak belur?" Kembali suara Fauzan menggema di ruangan gelap itu. Meskipun masih dengan nada lemah.

Nata yang masih terisak hanya mampu menggeleng. Suara lemah Fauzan kembali terdengar. "Itu karna lo. Gue lawan Bang Zidan, Abangnya Mutia supaya gue bisa balik lagi sama lo."

Kening Nata berkerut tak mengerti. "Maksud lo apa?"

Terdengar cowok itu menghela napas pelan sebelum menjawab. "Sebelum kita putus, Bang Zidan cerita kalo Mutia Adiknya itu suka banget sama gue. Gue bukannya ge-er atau apa. Tapi, Bang Zidan mohon-mohon sama gue, supaya gue pacarin Adiknya itu. Awalnya gue nolak tapi dia ngancem mau celakain lo kalau gue nolak permintaan dia. Gue gak mau lah lo kenapa-kenapa," ujarnya tersendat-sendat dengan ringisan yang keluar dari bibirnya.

"Oleh karena itu, gue pasrah terima dalam jangka waktu dua bulan. Dan kemaren gue udah gak tahan lagi, soalnya lo udah pacaran sama Gery, makanya gue minta Bang Zidan fighting bareng gue satu lawan satu. Akhirnya Bang Zidan jatuh duluan dan gue menang. Gue di bebaskan dengan perjanjian yang di buatnya." Lagi, cerita itu terhenti. Fauzan terbatuk-batuk yang membuat Nata ngilu sendiri mendengarnya. "Dan gue dikasih tau kalau Gery itu anak Hans Farganda. Mafia hitam yang kebal bui. Lo pasti pernah denger nama itu, kan? makanya gue buru-buru kerumah lo malam itu." Setelahnya yang Nata dengar hanya helaan napas panjang yang agak tersendat.

Nata hanya bisa diam tanpa kata. Ia tidak tau harus membalas perkataan Fauzan. "Maaf, gue yang salah di sini Ta. Seenggaknya gue nolak permintaan Bang Zidan dan jagain lo tiap waktu biar gak di celakain dia. Tapi, mau gimana lagi." Nata kembali terisak.

"Maaf banget Nat, gue ngomongnya sekarang. Maaf banget, udah ninggalin lo dulu tanpa alasan." Nata menggeleng pelan. "Udah Zan. Gue udah maafin lo, kok," ujar Nata serak. "Lo jangan banyak ngomong dulu. Gue takut nanti tiba-tiba lo pingsan karna luka-luka di sekujur badan lo." Fauzan hanya mengangguk menanggapi perkataan Nata.

"Sekarang gue mau lepasin tali ini. Gue gak mau lo ngerasain lebih sakit lagi karna tali yang ngiket badan lo ini."

"Gak sakit kok Ta, beneran," sela Fauzan. Memang benar, luka pada tubuhnya yang terkena ikatan itu tak berasa sama sekali. Rasanya tubuhnya sudah mati rasa.

"Udah, lo diem! Kemaren kata lo ada gunting. Sekarang mana gunting nya?"

"Eh iya, bentar. Tadi rasanya sebelum bokapnya Gery masuk, gue sembunyiin guntingnya di bawah paha gue. Tapi, masalahnya gue gak yakin itu gunting masih di sana atau enggak. Soalnya gue gak ngerasain itu gunting, gak ngeganjel. Aneh, gue aja gak ngerasain hangat punggung lo lagi kalau lo gak ngomong mungkin gue bakal ngira kalau gue sendirian di sini." Nata perlu beberapa detik untuk mencerna apa yang Fauzan bicarakan. Intinya adalah bukan hal yang bagus.

"Shit," umpatnya pelan dan berusaha mati-matian untuk tidak menangis lagi. "Zan, mending lo maju biar gue yang mundur. Mana tau gunting itu masih ada di sana." Fauzan melakukannya. Dua kali mereka menggerakkan badan susah payah, hingga ujung-ujung jarinya menyentuh benda itu. Itu guntingnya.

"Gue dapet guntingnya Zan!"

***

Gee or Zee [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang