Extra Part 1

1.4K 145 17
                                    

My Childhood Mate

.

.

.

Dia menghela nafas lelah. Walau sudah membuka jas berat itu dan menggulung lengan kemejanya, rasanya tubuhnya benar-benar remuk. Dia lelah hanya duduk di balik meja berkutat dengan ribuan kata dan angka. Kepala miliknya seakan-akan mau pecah. Setelah menghempaskan punggungnya pada bangku kulit hitam itu dan menghela nafas panjang, akhirnya ia memutuskan untuk sedikit melakukan gerak badan dan berjalan ke arah jendela besar di kantornya.

Suasana di bawah sangat padat.

Dan sialnya wanita itu masih bersenang-senang.

Lelaki itu mencengkram erat pinggiran tembok akibat kegemasan yang terus bergelayut di benaknya.

Tok tok tok..

Suara pintu mengalihkan pandangannya. Menduga-duga siapa yang ada dibalik pintu, kemudian ia memilih menyahutkan jawabannya.

"Masuk."

Pintu pun terbuka dan menampilkan sosok wanita cantik bertubuh semapai. Seorang wanita yang belakangan ini hadir di hidupnya. Seharusnya aku sudah tahu.

"Ayo makan siang." ujarnya ceria dan mulai menaruh bekal yang ia bawa ke meja dan menatap laki-laki dengan tatapan berbinar.

Sang laki-laki sangat menikmati perlakuan special seperti ini. Dulu, ia sangat mendambakan akan perempuan di depannya melakukan hal manis seperti ini, akan tetapi dengan kejadian beruntun yang ia dapati nyatanya rasa cintanya bukanlah cinta monyet belaka.

"Kamu bisa masak?" tanya laki-laki itu sembari mendekat.

Wanita berambut hitam itu mengerucutkan bibirnya, merajuk. "Bisa kok, sedikit sih.."

Senyum sang laki-laki mengembang kecil. "Dari pada aku harus sakit, lebih baik kita makan diluar."

Mata hitam itu menatap sang lelaki penuh kekesalan. "Aku mengorbankan kulitku terbakar api untuk memasak untukmu dan ini balasannya?!"

Kilatan humor itu menghilang seiring suasana menjadi dingin. Sang lelaki duduk dan bertopang dagu menatap sang wanita yang dulu ia cintai dengan tajam. "Kamu banyak berubah yah?"

Sang wanita menundukkan kepala dalam-dalam dan memelintir jemarinya karena gugup. Emosinya memang tidak pernah bisa ia kendalikan dengan benar dan sekarang ia tunjukkan keburukan di depan lelaki pasangan hidupnya. Bodoh sekali kamu!

"Jika kamu tidak tulus, aku tidak masalah memesan dari luar sebenarnya." sindir lelaki itu kemudian beranjak dari kursi.

Sang wanita makin bergerak gelisah. "A-aku ... aku minta maaf." ujarnya kemudian. Dia mencicit lebih dalam. "Maafkan aku David."

David menoleh pada sosok rupawan itu yang sekarang akan berlinang air mata.

"Aku tidak tau apa yang terjadi, tapi emosiku sulit dikendalikan terutama didekat mu.. Hinks... maafkan aku.. Aku tidak bermaksud begitu." dia menutupi wajahnya yang berurai air mata sembari terus sesegukkan. "Aku merindukanmu, aku merindukan Englebertha, aku merindukan ibu dan ayah... Tapi ... Tapi Papa Aaron dan Kakek menakut-nakutiku jika aku tidak bertumbuh baik menjadi vampire, keluargaku dan aku akan dalam bahaya ... huaaa.."

David mengerjapkan matanya kaget. Dia jelas tidak tahu hal tersebut apalagi dengan kembaran wanita di depannya ini. Ada dua kemungkinan, ia mendecih tak percaya atau tertawa mengejek.

"Hey.." David merangsek maju dan memeluk tubuh dingin Deana dengan erat. "Aku hanya menggodamu tadi."

"Hinks .. hinks .. maafkan tempramenku yang buruk, aku buruk sekali ... maafkan aku.." ujarnya penuh air mata. David yakin sekarang kemeja miliknya akan basah di bagian dada dimana wajah Deana berada.

David menarik wajah Deana dan membuat menatap wajahnya yang lebih tinggi."Iya.. tidak apa-apa. Jadi, sekarang kita boleh makan?" Ujarnya penuh kelembutan.

Deana dengan wajah memerah mengangguk perlahan. "Kamu ... memaafkan ku?"

David mengelus permukaan wajah sempurna didepannya dengan tatapan sedih. "Aku mencintaimu dari dulu, bahkan menduluankan kebutuhanmu dari saudara mu." David menghela nafas pelan. "Bagaimana bisa kamu membuatku terperangkap sampai hari ini?"

"A-aku.. aku tidak melakukan apapun! Aku berani bersumpah!" teriak Deana cepat membela diri.

David hanya tersenyum kecil dan menghela Deana untuk duduk dan makan bersamanya.

"Satu hal yang pasti De, kamu harus menyelesaikan masalahmu dengan kembaranmu." ujar David saat suapan pertama.

Deana mengangguk pelan. "Aku takut."

Seriagaian David keluar penuh makna. "Dia baik, hanya saja egonya terlalu tinggi untuk mengatakan 'aku memaafkanmu'."

"Benarkah?"

"Coba saja, bukankah kalian kembar? Anak kembar punya semacam koneksi batin bukan?"

Deana terdiam dan mengangguk, pancaran matanya terlihat seakan ia memiliki semangat baru untuk menghadapi kembarannya itu. "Kamu akan membantu ku kan?"

"Tentu saja.." ujar David kemudian menyerigai jahil. "Akan tetapi dari jauh."

.

.

.

END

My Own FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang