Acara pemakaman baru saja selesai. Semua orang mulai meninggalkan tempat pemakaman umum tersebut, menyisakan beberapa orang disana, Daniel, Fani, Vera, dan Ian.
Vera mengetahui kabar duka tersebut dari Bi Inem. Bi Inem menelfon Vera, perempuan itu tau Ian sedang membutuhkan seseorang. Vera merasa ikut terpukul melihat kondisi Ian yang tak henti-hentinya menangisi kepergian Hanum
Mereka serba mengenakan baju dan kacamata Hitam, begitupun Ian, namun lelaki ini tak memakai kacamata. Daniel masih berdiri dengan Fani di sampingnya. Matanya yang sembab di balik kacamata hitamnya masih diam tak membuka suara. Daniel yang dikenal sangat dingin pada siapapun, jarang berbicara dan selalu menatap tajam pada setiap orang persis seperti ayahnya, Daren. Daniel masih tak bisa berkata apa-apa hatinya serasa kosong, sudah tak akan ada lagi sosok wanita yang selalu menyuruhnya makan dan merawatnya ketika sakit di rumah. Daniel menatap makam Hanum dengan matanya yang sayu mencoba bersikap tegar atas kepergian wanita yang dicintainya.
Mata elang lelaki itu masih saja menatap nama yang tertera di batu nisan tersebut. Tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras. Perlahan air matanya kembali menetes, Daniel melangkahkan kakinya pergi dari sana disusul Fani dibelakangnya yang masih saja memegangi payung di tangan kanannya sambil mengikuti langkah kaki lelaki tersebut.
Gerimis masih saja tak mau pergi. Awan masih saja ikut bersedih. Dingin masih saja menemani diri. Rintiknya masih saja enggan berlari. Seakan bumi merasakan sakit dan rapuhnya hati saat ini. Menemani air mata yang tak mau henti. Semua meninggalkan lelaki itu sendiri! Kejam!!!
Vera melihat Ian yang masih diam sejak tadi, pria itu masih berlarut-larut dalam kenyataan pahit yang harus diterima lelaki disampingnya ini.
Hanya tinggal mereka berdua saat ini, Vera baru tau Ian memiliki hidup yang rumit seperti ini. Selama ini, Ian tak pernah bercerita tentang apa-apa padanya. Sedikitpun tak pernah.
Vera melihat Ian berjongkok disamping makam Hanum, mengusap nisan yang tertuliskan nama perempuan itu. Air mata lelaki itu kembali menetes. Vera dapat merasakan banyak kesakitan pada hati lelaki tersebut.
"Mamah orang yang baik.." Vera mendengar lelaki itu berucap lirih dengan suaranya yang serak.
"Gak ada yang bisa nyakitin mamah lagi.." ucap lelaki itu kembali.
"Ian udah ikhlas mah.." kini isak lelaki tersebut kembali terdengar.
Vera menitikan air matanya. Vera yakin siapapun yang mendengar kata-kata lelaki tersebut akan ikut merasakan kepedihan dihatinya.
"Maaf Ian udah berani lancang hadir dikehidupan mamah. Maaf Ian gak bisa jaga mamah. Maaf Ian gak bisa nepatin janji Ian buat nemuin mamah sama gadis yang Ian suka" suara lelaki itu terdengar parau membuat hati siapa saja yang mendengarnya merasa tersayat.
Vera memalingkan wajahnya. Ia menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Menahan suara isak tangis agar tak keluar dari mulutnya.
"Lelaki itu udah gak bakal gangguin mamah lagi!"
Vera mengerutkan keningnya. Vera tak mengerti ucapan sahabatnya. Siapa lelaki yang Ian maksud?
Ian menyeka air matanya. Ian memegangi dadanya yang terasa sakit. Ian memukul-mukul dadanya seakan meminta perasaannya untuk berhenti menyakiti dirinya. Ian tertunduk lemah.
"Semua orang ninggalin Ian sendirian!" ucap Ian setengah berteriak dengan suara seraknya.
"Ibu! Daren! Gadis yang Ian suka! Sekarang Mamah.."
Vera sudah tak tahan, gadis itu mengelus pelan bahu Ian sambil terus terisak.
Ian bangkit, mengusap air matanya. Menatap tempat peristirahatan mamahnya yang terakhir kali sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayang Buat IAN [Completed]✔
Teen Fiction•Highest Rank #634 Teen Fiction (20 Mei 2018) "Gue kangen sama lo, gue kangen sama chat gak penting dari lo, gue kangen sama cokelat yang biasa lo kasih ke gue, gue kangen sama bunga yang biasa lo kasih ke gue! Gue gak suka cokelat pemberian cowok l...