Aku nggak menangis. Tapi cewek berjilbab biru di sebelahku ini tau kalau suasana hatiku lagi mendung. Alias buruk. Kulihat dia tersenyum penuh pengertian padaku. Entah kenapa saat matanya menatap ke dalam mataku, aku merasa dia bisa membaca pikiranku.
"Enak ya kalau punya rumah di pinggir pantai kaya begini? Tiap hari bisa nyantai. Ngelihat sunset tiap sore ditemenin suami. Pasti enak ya kan?"
Aku tertawa kecil denger omongan Bu Meyara. "Wah, itu mah Ibu yang enak. Jangankan suami, pacar aja saya nggak punya Bu. Top single saya."
"Aduh, jangan panggil Ibu dong. Kan saya belum tua-tua amat. Masih dua puluh empat loh." Protesnya sambil mengibaskan tangan. "Panggil Mea aja."
"Ne Mea-Ssi." Koreksiku sambil tersenyum.
Mea menurunkan kakinya dan ikut menggoyang-goyangkannya di atas pasir. "Kana-Ssi udah berapa lama tinggal di Korea?"
"Tiga tahun." Jawabku masih tersenyum.
"Ada saudara di sini?"
Aku menggeleng. Saat pertama kali tiba di negara ini yang kumiliki ya cuma diriku sendiri. Cukup berani untuk cewek muda yang hanya berbekal penguasaan bahasa Korea sepertiku untuk tinggal di sini. Aku akui itu. Saat aku mutusin untuk ngelanjut S2 di KorSel, semua persiapannya kulakukan dengan praktis. Yang ada dipikiranku cuma kabur dari situasi yang mencekikku saat itu. Aku bahkan minta izin sama keluargaku tanpa alasan yang matang. Jelas mereka mencekokiku dengan berbagai macam pertanyaan dan kekhawatiran. Tapi bukan Kanaya namanya kalau nggak bisa membuka pintu hati mereka. Seminggu setelah diizinkan-dan persetujuan itu tentunya membutuhkan perdebatan panjang-aku langsung terbang ke Korea.
"Gimana rasanya jauh dari keluarga?"
Aku terdiam sejenak lalu mengalihkan pandanganku ke arah pantai. Pandanganku jauh. "Jelas nggak enak." Ujarku. "Tapi yang namanya juga pilihan, ya mau gimana lagi? Saya sendiri kok yang mau tinggal di sini. Jadi saya sendiri jugalah yang harus ambil resikonya."
Dari ekor mataku kulihat Mea ngangguk lalu ngikutin arah pandangku. "Iya. Setiap keputusan yang kita ambil pastinya punya resiko masing-masing. Ada baiknya, ada juga buruknya. Kita nggak bakal pernah maju kalau terus diem di tempat. Tapi Kana-Ssi, bukankah menghindari resiko itu lebih baik daripada mengambinya?"
Aku mandang Mea sambil menyernyitkan dahi.
"Saya yakin kamu punya alesan tertentu lebih milih resiko daripada menghindarinya. Tapi kamu nggak bisa selamanya ngambil resiko itu kan?" Mea menatapku dengan raut penuh arti. "Setiap orang punya kesempatan untuk bahagia Kana-Ssi. Melihat raut wajah kamu saat ngejawab pertanyaan saya tadi, saya tau kamu lelah jauh dari keluarga. Saya bisa lihat kekhawatiran juga keinginan di mata kamu. Kalau boleh saya tau, apa yang Kana-Ssi khawatirkan?"
Aku diam. Belum berniat menjawab pertanyaan Mea.
Mea tertawa kecil. "Kana-Ssi nggak perlu khawatir. Saya ini seorang Psikolog. Menjaga rahasia pasien saya itu tugas utama yang harus saya junjung. Yah, meskipun Kana-Ssi bukan pasien saya. Saya bersedia kok jadi temen konsul kamu. Bebas biaya."
Aku ikut ketawa setelah denger ucapan Mea. Sekarang aku tau kenapa dia bisa jadi Psikolog. Caranya mengerti orang lain itu sangat cepat dan tanggap. Dan senyumnya itu sangat bersahabat. Tanpa berpikir dua kali, kata-kata itu melucur bebas melewati mulutku. "Saya gagal menikah tiga tahun lalu." Aku menghembuskan nafas lalu tersenyum sedih. "Tepat di hari akad, calon suami saya dengan mudahnya mengirim pesan singkat pembatalan pernikahan kami. Dia bilang kalau cintanya bukan lagi untuk saya. Dia nggak bisa menikah dengan saya karena dia mencintai orang lain. Dan Mea-Ssi tau siapa orang lain itu?" Aku tertawa getir. "Orang itu adik kandung saya sendiri. Adik yang paling saya sayangi. Adik yang saya percayai dan banggakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Guide It's You (Completed)
RomanceAku---Kanaya Fathurrahmi---gagal menikah sama cowok yang udah kupacari selama dua tahun. Ajaibnya, aku berhasil nikah sama cowok yang baru kukenal selama dua hari. Heol, kurang daebak apa coba hidupku? Welcome to my story. 23/7/18 Ttd Nawir-Chan