Epilog

5.2K 233 19
                                    

Sembilan tahun kemudian.

“Alka! Jangan lari-lari!” Naya berseru sambil berusaha mengejar anak laki-laki berusia tiga tahun yang tengah memeluk papan skateboard di depannya. Dengan lincahnya, Alka berlarian kesana-kemari tanpa peduli dengan Ibunya yang khawatir papan skateboard milik Jeremy bisa menyakitinya.

Alan yang memperhatikan istrinya dan anak kedua mereka berkejaran hanya tersenyum kecil. Dia beralih menatap Nala dan Jeremy yang tengah berdiskusi mengenai soal biologi remaja laki-laki berusia 17 tahun itu.

“Sistem saraf itu Bang, punya respons langsung terhadap rangsang yang dibawa lewat neuron. Bahasa sederhananya itu punya respon cepat. Sementara sistem endokrin kebalikannya. Responnya cenderung lambat.” Ujar Nala sambil membolak-balik buku Biologi sepupunya. “Karena sistem saraf yang memonitor dan mengkoordinasi tindakan manusia secara otomatis, juga saling terkait satu sama lain dari otot, Bang J bisa nganggap sistem saraf itu kayak rangkaian kabel listrik yang menghubungkan otak dan tubuh kita supaya bisa berkomunikasi.”

“Komunikasi?” Jeremy mencatat kata penting yang diucapkan Nala.

Nala mengangguk. “Karena sistem saraf punya fungsi membantu kita untuk melihat, memahami, dan merespons seluruh kejadian di sekitar kita. Selain itu, sistem saraf juga perantara yang bertugas mengirim, menerima, dan mengartikan informasi dari semua bagian tubuh.”

Jeremy mengangguk-angguk sambil terus mencatat.

Alan menyesap tehnya. Bukan hal mengejutkan melihat bagaimana Nala yang masih berusia delapan tahun membantu Jeremy menyelesaikan PR-nya yang jelas-jelas sudah duduk di bangku SMA. Nala mewarisi kejeniusan dan ketenangan Alan. Meski banyak orang-orang yang tak menyangka kalau Nala, Si gempal yang lebih suka menyendiri itu lebih dewasa dari penampilan menggemaskannya.

“Ya Allah..” Naya, yang baru selesai menyembunyikan papan skateboard yang jadi biang masalah menjatuhkan bokongnya di kursi yang ada di sebelah Alan.

“Capek?” Alan bertanya perhatian.

Naya mengangguk dan mengambil teh yang tadi disiapkannya untuk Alan lalu meminum habis teh itu. “Heran banget lihat anak Mas yang satu itu. Kok bisa sih dia lari-larian sambil bawa papan skateboard yang ukurannya sama kayak badannya sendiri? Dapet tenaga darimana?”

Alan hanya tersenyum kecil. Dalam hati dia mempertanyakan bagaimana istri tercintanya ini bisa melupakan kebandelannya saat kecil. Sudah jelas Alka mereka menuruni sifat Ibunya. Bukan hanya tentang kebandelan, tapi juga kelincahannya. Malah diperparah dengan kenyataan kalau Alka adalah anak lelaki. Pastinya Naya kewalahan berkali-kali lipat mengurusnya. “Sekarang mana Alkanya?”

Naya menunjuk anak kecil yang tengah menatap sengit ke arahnya. Walau bertanya-tanya bagaimana putranya yang masih belia bisa menampilkan ekspresi seperti itu, Naya lebih tak habis pikir dengan barang bawaan Alka saat ini. Padahal tadi anaknya itu sedang menangis keras karena skateboard yang dipeluknya disita oleh Naya, kini Alka kembali dengan membawa bambu panjang yang biasa mereka gunakan untuk mengambil jambu di kebun belakang. Seolah-olah menantang Ibunya untuk berkejar-kejaran lagi.

Alan menggeleng pelan.

Dengan jengkel, Naya kembali bangkit dan mengayun-ayunkan tangannya. “Alka, sini!” Panggilnya.

Alka menggeleng dan mulai berlari kecil sambil menyeret bambu sepanjang tubuh Ibunya itu.

“Alka!” Naya kembali mengejar Alka.

“Nggak mauu! Moe jaat!” Balas Alka dengan aksen kanak-kanaknya.

“Kalau kamu nggak nakal nggak bakal Moe ambil mainan kamu!”

Jeremy dan Nala menghentikan kegiatan belajar mereka saat melihat Naya dan Alka kembali berkejaran di halaman rumah yang luasnya seperti lapangan sepak bola.

“Ya ampun, Nte Aya sama Alka nggak capek-capek apa dari tadi lari-larian. Heran.” Jeremy menggeleng pelan. “Sekarang aku jadi tau gimana bandelnya Nte Aya dulu kalo ngelihat Alka. Papa pasti dulu juga kewalahan kalo disuruh jaga Nte Aya sama Nenek.”

Alan tersenyum menatap keponakannya itu. Ternyata ada juga yang satu pemikiran dengannya.

“Vad nggak mau bantu Moe ngejer Alka?” Nala bertanya pada Ayahnya yang terlihat tetap santai memperhatikan tanpa berniat mengambil tindakan.

Alan menggeleng dan mengerling. “Biarin aja Moemu mengenang masa kebadelannya dengan kelakuan Alka. Vad nggak mau ganggu.”

Nala kembali menatap Ibu dan adiknya yang masih berlarian mengelilingi lapangan. Walau sesungguhnya Nala merasa kasihan kepada Moenya, gadis kecil itu tak mau menyusahkan diri dengan mengimbangi kelincahan Alka. Dia juga tahu meski Moenya mengejar Alka sambil merepet janda, Moe tak benar-benar marah.

Moenya selalu begitu.

Keluarga mereka selalu begitu.

Dan ditubuh anak-anaknya beserta pemikiran dewasanya, Nala bersyukur dilahirkan dalam keluarga ini. Dia punya orang tua yang selalu ada di sisinya. Dia punya adik yang walaupun bebal tetap lucu dan menawan. Dia punya sepupu yang baik dan perhatian. Dia punya keluarga yang menyayanginya.

Hidup tak selalu sempurna. Tapi dalam ketidaksempurnaan, seseorang patut bersyukur. Sebab dengan bersyukur, mereka tahu kalau hidupnya sudah jadi lebih baik.

Sesederhana itu.

FIN

🍁🍁🍁

Waaahh.. akhirnya tamat jugaa..
Udah setahun  ya aku nulis. Nggak nyangka kalau cerita ini bakal selesai. Pokoknya aku makasih banget deh sama semua readers yang udah nyemangatin (walopun bisa diitung pake jari yang ngebaca). Harapanku sih, semoga cerita ini bisa jadi salah satu cerita yang ngena di hati kalian. Dan buat aku pribadi semoga selalu konsisten sama jalan yang udah kupilih.

Thanks buat semuanya yang udah support.

Komentar kalian tetep kutunggu kok sekalipun ceritanya udah selesai.

Hehe. 😄

Sampai jumpa di karyaku selanjutnya.

Annyeong!

🍁🍁🍁

Don't Forget to Vote and Comment

NaLan

Nawir-Chan

My Guide It's You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang