Bab 9 : Bos Besar

3.6K 196 1
                                    

Hidup itu pilihan. Aku percaya itu. Karena selama ini aku memilih hidup dengan segala konsekuensinya ketimbang mati tanpa perjuangan apapun.

Hidup itu nggak mudah. Aku juga percaya itu. Kehidupanku selama ini bukanlah pilihan yang diinginkan siapapun. Dan perjuanganku untuk sampai ke titik ini juga bukanlah sesuatu yang bisa dipandang sebelah mata. Mungkin-bagi sebagian orang-untuk sampai ke tempat ini, mendapatkan pekerjaan ini, dan hidup di negara ini berada di tingkatan tergampang dalam perjalanan hidup mereka. Tapi nggak untukku. Aku harus terluka, tersakiti, dikhianati, dicurangi, dan dibandingkan setiap orang dulu baru bisa menetap di sini.Tempat ini, pekerjaan ini, dan suasana negara ini adalah tempat pelarianku. Aku bernafas dengan baik di sini. Meski sering merasa asing dan sendiri, aku bisa kembali hidup di sini.

Mengalah seringkali menjadi hal tersulit yang mampu seseorang lakukan dalam hidup mereka. Tapi bagai suratan takdir, aku lebih sering mengalah dalam hidupku. Seolah hanya 'mengalah'-lah pekerjaan yang mampu kulakukan dengan baik. Menyedihkan? Tentu. Kata itulah yang membuatku terbangun di pagi hari dengan harapan yang menjelma menjadi jurang keputus asaan.

Aku tau untuk bahagia butuh proses yang nggak mudah. Aku juga tau meski aku merasa hidupku nggak adil, dunia akan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Tapi gimana jadinya kalau ketidak adilan itu membuatku berakhir dengan menjadi 'istri' seorang laki-laki yang hanya kuketahui nama, umur, dan pekerjaannya? Kami bahkan baru ketemu dua hari yang lalu! Tapi dalam semalam-tanpa persiapan yang matang-aku resmi menjadi istrinya. Istri seorang lelaki tampan bernama Alan Eryodha de Graff.

Ingin rasanya aku menganggap semua hal yang terjadi semalam cuma mimpi belaka. Tapi jaket jeans yang tergantung di depan lemariku itu memupuskan harapanku. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Nyata. Semua hal semalam itu nyata.

Kembali, aku harus mengalah pada takdir.

Dengan malas kulirik sisi tempat tidur kosong di samping kiriku. Seprai yang kusut di sampingku membuktikan bahwa seseorang tidur bersamaku tadi malam. Aku menggigit bibir bawahku. Perasaan asing dan gugup menyerangku. Menyadari seseorang-dan orang itu adalah laki-laki-tinggal serumah bahkan tidur seranjang denganku membuat pagiku kacau. Aku belum siap menjalani kebiasaan baru ini. Sambil menggeleng pelan, kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, memastikan nggak ada orang selain diriku di kamar ini. Merasa lega, aku menghela nafas. Kulihat jam wekerku di samping tempat tidur.

Jarum pendeknya berada di angka enam dan jarum panjangnya berada di angka sebelas.

Astaghfirullah.. dengan tergesa-gesa aku masuk ke dalam kamar mandi, berniat mangambil wudhu dan shalat subuh. Tapi langsung kuurungkan begitu melihat bercak kemerahan di bagian bawah celana tidurku. Setelah kucek, bener aja. Aku haid. Padahal jadwal haidku masih sekitar satu minggu lagi. Mungkin karena banyak tekanan yang mampir ke pikiranku membuat jadwal bulananku agak meper dateng lebih cepat.

Akhirnya aku membersihkan diri dan mandi. Kubersihkan tempat tidurku dan bersyukur nggak ada bercak darah di sana. Kugulung rambutku asal dan keluar dari kamar. Aku nggak melihat Alan dimanapun. Kemana dia? Di meja makan ada banyak makanan tersaji. Aku menyernyit bingung dan berjalan mendekat. Darimana makanan sebanyak ini? Saat itulah mataku melihat sebuah kertas berisi catatan di atas cangkir. Aku mengambil kertas itu dan membacanya.
____________________________________

Selamat pagi, Nay.

Maaf, aku berangkat duluan. Kamu sarapan dulu aja. Maagh kamu ntar kumat. Memang bukan masakanku. Aku delivery. Halal kok.

Kamu pakai aja smartphoneku. Ada di lemari pakaian.

Kupikir ada baiknya kamu nelfon peserta tour yang lain.

My Guide It's You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang