Bab 8 : Dia... Suamiku

3.6K 208 5
                                    

Aku berjalan dengan lunglai menyusuri jalan setapak menuju rumahku. Pikiranku menerawang memikirkan rangkaian kejadian hari ini. Touring hari kedua berjalan cukup lancar dari pagi sampai sore. Aku bahkan masih ketawa karena ngelihat tingkah Elang dan Aldo. Di N Seoul Tower pun aku masih tersenyum seneng ngelihat beberapa pasangan yang masang gembok di Love Lock. Saat pulanglah masalah mulai terjadi. Alan menghilang. Aku nyari dia dan ketemunya dia lagi dikejer-kejer sama gangster. Karena ngerasa bertanggung jawab, aku ngikutin Alan lari dan pada akhirnya aku nyaksiin perkelahian paling mengerikan seumur hidupku. Aku bahkan hampir kena tembak. Nggak cukup keterkejutan karena hampir meregang nyawa, sekarang aku harus kembali dikejutkan dengan status yang detik ini kusandang.

Istri Alan Eryodha de Graff.

Mau seberapa kali kupikirkan pun kejadian hari ini masih sangat membingungkan. Aku bisa ngerti gimana Alan ngerasa bertanggung jawab sama kejadian yang menimpaku hari ini. Tapi sebesar apapun rasa tanggung jawabnya ke aku, dia nggak perlu sampe menikahiku untuk ngejaga aku kan? Aku bukan anak kecil. Aku masih bisa ngejaga diri dari orang jahat. Tapi gimana kalau ada yang mau nembak aku lagi? Tanya satu sisi hatiku. Mungkin secara nggak langsung, caraku nolak bantuan Alan dengan bilang kami 'bukan muhrim' ngebuat dia ngerasa wajib menghalalkanku.

Tapi kan aku nggak pernah minta buat dinikahi!? Seru sisi hatiku yang lain. Lagipula, darimana dia tau nama lengkap Papa? Kenapa juga semua orang di KBRI mandang dia dengan pandangan hormat? Setahuku pekerjaan Alan itu pengusaha. Apa dia berasal dari kalangan bangsawan? Kalau dia bangsawan, kenapa dia mau nikahin rakyat jelata sepertiku? Arghhh!! Aku mengerang frustasi.

Alan yang ada di belakangku dengan cepat mensejajarkan langkah denganku saat ngedengar erangan frustasiku. "Kenapa Nay?" raut wajahnya terlihat khawatir.

Aku mandang Alan dengan kesal. Pengen rasanya aku meneriakkan semua pertanyaan yang memenuhi pemikiranku kepadanya. Tapi aku tau kami berdua sama-sama lelah dan rentetan pertanyaanku itu nggak bakal ngebantu apapun. Dengan setengah hati aku menggeleng dan melanjutkan langkah kakiku. Sekilas kulihat toko So Ra yang udah gelap. Aku melirik jam tanganku. Memang udah waktunya toko So Ra tutup. Sambil menaiki tangga kubuka tas kecil yang kupakai. Untung aku selalu naruh kunci di tasku. Bisa gawat kalau aku ninggalin kunci rumahku di kamar Hotel. Aku udah terlalu capek dan pusing sama semua hal yang kualami hari ini. Kembali ke Hotel yang jarak tempuhnya lebih jauh bakal ngebuat aku pingsan di tempat.

Aku membuka kunci pintu rumahku, memutar kenopnya, dan masuk ke dalam rumah sambil nekan saklar lampu di samping pintu masuk. Rasanya aku mau berendam di dalam air hangat sekarang. Tapi suara pintu ditutup di belakangku ngebuat aku sadar kalau aku nggak sendirian. Aku mandang Alan sebentar sambil menimbang-nimbang mana yang sebaiknya lebih dulu kulakukan. Setelah nyuruh Alan duduk di atas sofa aku beranjak ke dapur. Kuambil kotak P3K di lemari dapur lalu kembali ke ruang tamu yang merangkap sebagai ruang menonton, tempat Alan berada.

Alan menatapku sebentar lalu mulai melepas jaket jeans yang dipakainya.

Kubantu dia melepas jaketnya lalu melepas kaus hitamnya. Dia meringis pelan saat aku nyentuh bagian punggungnya yang terluka. Akupun ikut meringis ngelihat luka memar yang memenuhi tubuhnya. Gimana bisa dia nahan semua luka ini? Kukompres lukanya terlebih dulu lalu kuberi salep pereda nyeri. "Sekarang berbalik." Ujarku pelan.

Alan membalikkan tubuhnya sehingga kini dia langsung berhadapan denganku. Kalau aku nggak dalam keadaan kacau, aku mungkin bakal ngeluarin air liur ngelihat proporsi tubuh Alan yang menggoda iman. Perut kotak-kotak plus dada bidangnya pas banget buat di peluk. Kuoleskan salep di bagian perut Alan yang memar lalu mengoleskan salep itu ke pelipisnya yang membiru. Selesai.

Aku hendak menutup salep yang ada ditanganku saat tangan Alan menahan lenganku. Matanya mengunci pandanganku. Dimatanya, aku bisa ngelihat bayanganku sendiri. Ada banyak hal yang tersirat dari tatapan matanya. Kekhawatiran, penyesalan, keinginan, dan juga pertanyaan. Alan seolah meneriakkan pemikirannya lewat tatapan mata itu. Akupun ikut mandang Alan sambil mengikutsertakan semua perasaan yang menyelubungi hati dan pemikiranku. Berharap dia bisa membacanya. Karena mulutku terasa kelu untuk menceritakan gimana perasaanku saat ini.

My Guide It's You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang