Bab 22 : Benarkah?

2.4K 177 4
                                    

Tekan tombol bintang dulu yahh 😘🙏

🍁🍁🍁

Setelah Alan masuk ke gate keberangkatan menuju Belanda, aku langsung naik taksi dan pulang ke rumah. Tapi sesampainya di rumah, niatku untuk berendam plus tidur sepuasnya menghilang entah kemana. Merasa harus ngelakuin sesuatu, aku mutusin buat ke kantor. Tadi malam aku sama Alan udah ngebicarain masalah ini. Meskipun kami berdua belum ngambil keputusan akhir, aku udah setuju untuk resign dari kantor. Walaupun sebagian hatiku menyayangkan pekerjaan yang udah kujalani selama tiga tahun itu berakhir secepat ini, aku nggak bisa menolak permintaan suamiku kan?

Aih, mikirin Alan ngebuat wajahku nge-blush. Teringat gimana pengakuan yang kubuat di Bandara tadi. Rasanya nggak nyangka aku mampu ngucapin empat kata itu dengan ringan.

"Aku cinta Mas Alan."

Omonaaa.. demi apa seorang Kanaya berani ngomong gituuu.. Aku senyum-senyum nggak jelas sendiri mengingat ucapan yang kulakukan di Bandara. Ditambah kecupan ringan itu. Ya Allah.. kok bisa-bisanya sih aku mencium Alan di tempat ramai kayak Bandara? Ini otakku lagi konslet apa yak?

Tapi setelah kupikir-pikir lagi, Alan memang pantas mengetahui hal itu. Setelah semua hal yang terjadi pada kami, mengetahui kalau cintanya untukku ternyata nggak bertepuk sebelah tangan adalah hal terbaik yang bisa kulakukan untuknya. Meskipun rasanya masih sedikit mustahil bagiku untuk mempercayai bahwa Alan mencintaiku.

"Kita sudah sampai."

Ucapan supir taxi yang kunaiki membuatku memandang gedung yang ada di depanku. Aku melirik argo taxi lalu memberikan beberapa lembar won sebelum membuka pintu taxi. Setelah keluar dan menutup pintu taxi ponselku berdering. Senyumku mengembang melihat nama orang yang menelfonku. Kugeser layar ponselku sebelum menempelkan benda persegi empat itu ke telinga. "Assalamu'alaikum, Abang!" Ujarku riang. Aku melangkahkan kaki memasuki gedung dan menganggukkan kepalaku untuk menyapa resepsionis yang sedang berjaga.

"Wa'alaikumussalam. Kayaknya lagi seneng banget ya?"

Suara Bang Kevin membuatku tersenyum simpul. Aku berdiri di depan lift dan menunggu lift turun. "Sok tau."

"Bukannya sok tau Nay. Kan Abang nanyak. Capek deh ngomong sama kamu."

Bibirku mengerucut. "Kalo capek kenapa nelfon?"

"Mau mastiin kalo kamu masih hidup aja sih."

Aku masuk ke dalam lift. Kutekan angka lima dan membiarkan pintu tertutup. "Apaan?"

Bang Kevin tertawa di seberang. "Kapan kamu pulang?"

"Kenapa rupanya?"

"Tinggal jawab aja Nay. Mesti banget ya ditanya alesannya?"

"Ya mesti dong. Abang kan biasanya selalu ada udang di balik batu. Kalo ngehubungin aku pasti ada apa-apanya. Kenapa? Abang mau oleh-oleh?"

"Hehe, tau aja kamu."

Aku menghela nafas panjang-panjang dengan sikap lelah. Meski seulas senyum muncul di bibirku. "Iya deh, ntar aku cari oleh-oleh termurah yang bisa kubawa pulang."

"Ya Allah.. parah amat yang termurah? Adek macem apa kamu? Masa ngoleh-ngolehin abang satu-satunya nggak bermodal gitu?"

"Ya suka-suka aku dong. Kan aku yang beliin." Sahutku sambil berjalan keluar dari lift.

"Hm, yaudah deh. Oleh-oleh apapun jadi. Yang penting kamu pulang." Bang Kevin menghela nafas di seberang. "Sebenernya kamu nggak bawak apapun juga ga masalah. Yang penting kamu pulang."

My Guide It's You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang