Bab 18 : Dia...? Nggak Mungkin

3K 227 4
                                    

Mataku membulat menyadari apa yang dilakukan Alan sekarang. Lututku melemas dan aku yakin akan jatuh kalau tangan kiri Alan nggak menahan punggungku. Tangan kanannya yang berada di pipiku semakin mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dengan mudahnya dia mengambil kendali otak dan hatiku. Aku hanya bisa menerima perlakuannya sekarang. Tanpa membantah dan tanpa sanggup melepaskan diri.

Dia melepaskan pagutannya dan meletakkan keningnya di keningku. Nafasnya sedikit memburu, begitu juga dengan nafasku. Dengan jarak yang begitu dekat, aku bisa melihat senyumnya mengembang sempurna. Dan.. "Aku mencintaimu." Ujarnya kemudian.

Aku hanya bisa memandangnya dengan ekspresi syok.

Alan menegakkan tubuhnya lalu membawa kepalaku bersandar di dadanya. Dia mengelus kepalaku dengan sapuan riang. Jantungnya juga berdetak kencang. Seirama dengan detak jantungku. Alan melepas pelukannya lalu menatapku dengan senyum secerah mentari. "Aku mencintaimu." Ulangnya.

Aku mengerjap dan menggeleng pelan. Ya Allah.. kalau ini mimpi tolong cepat sadarkan hamba. Berada dalam situasi tanpa penjelasan ini sungguh sangat menyebalkan.

"Kamu nggak bermimpi Nay."

Aku kembali memandang Alan. Dan dia kembali menciumku.

"Apa kamu nggak bisa merasakan ciumanku?" Tanyanya dengan alis terangkat.

Aku mundur selangkah sambil menutup mulutku.

Alan menarik lenganku dan membawaku kembali ke dalam pelukannya. "Jangan jauh-jauh. Aku masih pengen peluk kamu." Pintanya manja.

"Jangan cium." Suaraku terbenam karena pelukan Alan.

"Kenapa?" Alan melonggarkan pelukannya. Dia menatapku dengan bingung, yang sejujurnya lebih membingungkanku. Tadi kan kami lagi bicara serius, tapi kenapa tiba-tiba situasinya berubah drastis begini sih? Aku menahan wajah Alan saat dia mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku.

"Ini tempat umum Mas." Ucapku.

Alan menghela nafas, mengangguk mengerti, lalu menjauhkan wajahnya.
Melihat itu, aku menarik tanganku dari wajahnya. Dan dia mengambil kesempatan itu untuk menciumku lagi.

Alan tertawa kecil dan kembali membawaku ke dalam pelukannya tanpa mempedulikan raut protesku.

Merasa waktunya bertanya, aku membuka suara. "Apa maksud Mas mengatakan itu tadi?"

"Mengatakan apa? 'Aku mencintaimu'?"

Aku meringis di dalam hati. Bagaimana mungkin dia dengan mudahnya mengatakan dua kata itu? Apa si jenius ini nggak tau arti dari mengungkapkan dua kata itu? "Ya."

"Memangnya masih perlu ditanyakan? Aku mengatakan kalau aku mencintaimu karena aku memang mencintai kamu. Apa kata-kataku nggak jelas? Atau terdengar seperti memiliki makna tersembunyi?"

Aku menghela nafas dan melepaskan diri dari pelukan Alan. "Itu bukan kata yang bisa dibuat main-main Mas." Tegasku.

Alan menatapku. "Apa aku terlihat sedang bercanda sekarang?"

Nggak, batinku. Raut wajah dan juga tatapan Alan terlihat serius. Tapi tetep aja otakku belum bisa menerima itu. "Mas mencintai Ms. Deja." Ujarku.

"Memang."

Rasanya sangat sakit mendengar Alan mengucapkan satu kata itu dengan begitu mudahnya. "Terus kenapa mengucapkan kata-kata itu kepadaku?"

"Karena aku memang mencintaimu."

Aku memijat kepalaku dengan sikap frustasi. Sebenernya aku ini lagi ngomong sama siapa sih? Kenapa jawaban awal sama akhirnya sama sekali nggak sinkron? Apa bener suamiku ini udah bergelar Ph.D?

My Guide It's You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang