Bab 34 : Mirip

3.1K 156 1
                                    

Aku menompangkan dagu melihat interaksi kedua orang di depanku. Walau aku sadar dengan keberadaanku yang menjadi orang ketiga di antara mereka, senyumku masih tetap terbit melihat bagaimana cowok berwajah tampan itu kadang-kadang terlihat salah tingkah menanggapi celotehan cewek berwajah manis di sampingnya. Melihat keakraban mereka, aku yakin cowok bernama Devan Kim itu nggak bakal lagi menerorku untuk menemaninya bertemu cewek ini. Devan pasti sekarang sadar kalau mereka punya banyak kesamaan yang menjurus pada kata cocok.

“Kalau gitu, saya balik dulu ya Dev. Mungkin lain kali kita bisa ngobrol lagi.” Lira, nama perempuan berambut sebahu itu, kini beralih menatapku sambil mengulurkan tangan. “Dan Mbak Naya, sampai ketemu lagi.”

Aku mengangguk dan membalas uluran tangan Lira.

Saat Lira berlalu keluar dari cafe, kupandang Devan yang tengah menghabiskan americano-nya dengan pandangan menyelidik. “Mananya yang belum pernah ketemu, Dev?” Tanyaku. “Ngelihat keakraban lo sama Lira tadi ngebuat gue yakin kalian udah pernah ngobrol sebelumnya.”

Devan mengangkat tangan kanannya. “Sumpah, Noon. Ini kali pertama gue ketemu sama dia. Gue juga nggak tau kalau kami bisa ngobrol senyambung itu.”

Aku menyedekapkan tangan dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. “Ya udah, kalau gitu tunggu apa lagi? Perjodohan kali ini pasti bakal berjalan lancar.”

Devan menghela nafas dan menatap keramaian malam kota Jakarta dari balik kaca jendela dengan pandangan jauh.

“Ya elah, sok-sokan mikir.” Cibirku. “Ntar kepala lo beneran botak kalo kebanyakan make otak.”

Devan memutar bola matanya dan beralih menatapku. “Lo kalo ngomong emang seenaknya.”

“Lah, baru nyadar?”

Devan mendengus. “Udah lama sih nyadarnya.”

Aku tersenyum dan membiarkan kesunyian mengisi meja kami. Hari ini Devan meneleponku dan mengajakku untuk bertemu calon yang dipilihkan Ibunya. Tadinya sih Alan mau ikut, tapi ternyata ada sedikit masalah di kantor yang membuat Alan harus rapat melalui panggilan video internasional. Dia berjanji untuk menjemputku dan nggak lupa memperingati Devan agar menjagaku dengan baik. Alan bahkan menambahkan kalau dia sampai menemukan satu lecet saja ditubuhku, dia bakal mematahkan kaki Devan. Dasar. Aku nggak ngerti lagi harus ngomong apa.

Noon,”  Panggil Devan.

Aku kembali memfokuskan pandanganku ke arahnya. “Hm?”

“Kalau gue masuk Islam, gimana tanggepan lo?”

Mataku membulat mendengar pertanyaan Devan. “Lo seriusan? Kok tiba-tiba?”

Devan mengangkat bahu. “Nggak tiba-tiba juga sih.” Ujarnya. “Lo kan tau kalau Eomma itu muslim walau Appa gue nggak ikut masuk Islam.”

Aku mengangguk.

“Dan walau muslim, Eomma bukan tipikal orang taat beragama yang bakal bisa bimbing gue dengan seharusnya. Karena itu jugalah Eomma nggak pernah maksa gue buat masuk agama manapun. Mau gue ikut agama Eomma ataupun Appa, tetep aja nggak ada yang bisa bimbing gue karena mereka berdua sama-sama sibuk dengan pekerjaan dan hidup mereka.”

Aku mengangguk lagi. Walau ini bukan kali pertama Devan menceritakan kondisi keluarganya, aku masih merasa kasihan setiap mendengar kisah itu. Ketika seseorang nggak punya Tuhan tempat untuk bisa percaya seutuhnya, hidup orang itu bakal penuh keraguan.

“Gue cukup merhatiin lo selama tiga tahun terakhir. Lo itu selalu punya sumber kekuatan yang nggak gue punya. Lo selalu percaya Tuhan bakal ngebantu dimanapun lo berada.” Devan menahan waiters yang melewati kami dan memesan lagi. Selesai memesan, Devan kembali memandangku. “Jujur aja, gue iri. Gue nggak pernah yakin hidup gue bakal baik-baik aja. Gue nggak punya Tuhan yang bisa gue yakini keberadaannya.”

My Guide It's You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang