Bab 16 : 'Aku Mencintaimu'

2.8K 186 2
                                    

"Nah, sekarang ini kita lagi ada di jembatan Seonimgyo. Warna yang cerah serta dekorasi yang bagus pasti banget jadi daya tarik jembatan ini. Kalau kalian lihat baik-baik, di kedua sisi jembatan ini ada ukiran dekorasi tujuh peri. Dekorasi ini menggambarkan tujuh peri legendaris dan cantik yang turun dari langit di malam hari." Jelas Devan.

"Wah, keren." Ujar Sifa sambil berusaha melihat dekorasi yang dimaksud Devan.

Devan tersenyum kepada Sifa, mengundang Aldo yang berada tepat di samping cewek itu menatap Devan dengan tajam. Melihat itu, Devan menggeleng pelan lalu beralih memandangku. Alis matanya naik. Seolah menanyakan bagaimana tanggapanku mengenai sikap posesif Aldo yang menggelikan.

Aku tersenyum sambil mengidikkan bahu. Karena aku baru keluar dari Rumah Sakit, Devan dengan sikap gentleman-nya menyuruhku menikmati tur sementara dia menggantikan aku menjadi pemandu. Awalnya aku mau nolak, tapi Alan dengan mutlak menyetujui ucapan Devan. Jadi mau nggak mau aku menyetujui keputusan mereka berdua.

"Dan di bawah sana, ada air terjun Cheyonjeon. Dikenal sebagai Kolam Dewa. Asalnya dari atap gua dan terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama air terjun membelah menjadi dua bagian lainnya. Banyak formasi bebatuan unik dan juga banyak tanaman langka di sekitar air terjun. Apa kalian mau melihat air terjunnya secara langsung?"

"Mau!!"

Devan tersenyum dan dengan cekatan membimbing para peserta tour untuk turun menuju air terjun.

Baru satu langkah aku berjalan, tangan Alan yang sedari tadi menggenggam tanganku menghentikan gerakanku. Aku menatapnya bingung.

Alan menatapku sejenak kemudian menghela nafas. Bukannya ikut turun, Alan malah mendekat pada pagar jembatan. Membuatku mau nggak mau mengikutinya. Dia kembali menatapku.

Entah apa yang dipikirkan Alan sekarang. Raut wajahnya tak terbaca. Merasa sedikit gugup karena ditatap seintens itu, aku mengalihkan tatapanku ke depan. Kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan perlahan. "Pemandangan di sini bagus banget." Ujarku membuka pembicaraan. Rasanya canggung banget.

Apalagi sejak pagi tadi aku sama Alan belum bicara dengan benar satu sama lain. Padahal sejak aku bangun tidur sampai sekarang ini, Alan nggak pernah pergi dari sisiku. Dia selalu menggenggam tanganku seolah aku bakalan hilang kalau nggak digandeng. Bahkan saat aku mandi pun Alan dengan setia menunggu di depan pintu kamar mandi. Apa coba maksudnya?

"Gimana maagh kamu? Masih sakit?"

Aku kembali memandang suamiku. Untuk sejenak aku terpaku menatap kekhawatiran di matanya. Dengan pelan kugelengkan kepalaku.

"Apa yang ngebuat kamu nggak makan seharian?"

"Nggak nafsu."

"Kamu punya maagh."

Aku ngangguk. "Aku tau. Tapi aku nggak bisa maksain makanan masuk ke perutku sementara aku nggak mood buat ngelakuin apapun. Yang ada nanti aku bakal muntahin makanan itu dan jadi mubadzir."

Alan menghela nafas. Dia mengalihkan pandangannya ke depan. "Aku.. minta maaf."

Keningku berkerut. "Untuk apa?"

"Semuanya." Alan kembali memandangku. "Membuat kamu kesal dengan sikapku, meninggalkan kamu seharian, membiarkan kamu keluar malam, dan mengecewakan kamu."

Aku hanya menatap wajah Alan lekat-lekat.

"Hari itu aku kacau. Aku nggak bisa berpikir jernih. Aku sedih karena kamu nggak punya harapan untuk hubungan kita. Aku lebih sedih saat tau kalau kamu nggak bakal pernah mencintaiku. Seburuk itukah aku di mata kamu? Sampai untuk menungguku saja kamu enggan. Karena itu aku pergi. Berusaha memperbaiki perasaanku yang kacau dan memberikan kamu waktu untuk sendiri."

My Guide It's You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang