12. Kebenaran

49 5 2
                                    

"Jadi, kau hari ini tetap satu mobil dengan Mario?" Willy memulai pembicaraan selepas ketiga wanita itu menghilang tertutupi pepohonan pinus yang indah.

Nicholas mengangguk sambil menatap langit yang cerah. "Walaupun aku kesal setengah mati dengan Mario, dia tetap tanggung jawabku. Orangtuanya menitipkan dia kepadaku. Apalagi kemarin aku yang mengajaknya kesini."

"Kau benar. Tapi.. hei, kau mengatakan itu seolah-olah Mario itu masih kecil dan kau ayahnya."

Nicholas terkekeh. "Sudahlah. Entah nanti di dalam mobil kami bagaimana. Aku akan berusaha bersikap sewajarnya saja."

Willy mengangguk dan merangkul Nicholas mengajak mereka kembali ke tempat tenda yang sudah digulung. "Apakah aku perlu naik mobil bersamamu?"

"Tidak perlu. Itu malah membuktikan bahwa aku pengecut. Terimakasih tawaranmu, friend."

***

"Kenapa kau tidak memukulku seperti yang dilakukan oleh temanmu Alvian?" Mario memecah kesunyian yang terjadi di dalam mobil. Perjalan memakan waktu 5 jam dan sudah sejam lebih mereka tak berbicara sedikitpun.

"Sebenarnya pikiran itu terlintas kemarin. Tapi untuk apa aku harus melakukan itu?"

"Aku kira kau yang paling kesal kepadaku diantara teman-teman Elsa yang lain."

Nicholas tetap menatap lurus ke jalan sambil menghela nafas. "Mungkin memang aku yang paling kesal dan marah. Tapi Elsa lebih penting bagiku. Dia tidak akan suka kalau melihat teman-temannya berkelahi."

"Kau tidak penasaran?"

"Penasaran?"

"Tentang kejadian dua tahun lalu." Mario menoleh ke arah Nicholas.

Nicholas mendengus. "Untuk apa? Aku mendengar sedikit dari Elsa. Aku tidak berhak untuk tahu lebih banyak."

Mario terdiam beberapa saat. Memang benar ini pribadi. Tetapi ia merasa harus menceritakannya kepada Nicholas. "Apa yang dikatakan Elsa?"

"Mengapa kau ingin tahu? Bukankah sudah jelas?"

"Aku tidak seperti yang dikatakan Elsa."

Nicholas menoleh ke arah Mario dan menatapnya tajam. Urat-urat berwarna biru mulai tampak di dahi pria itu, tangannya mencengkeram kemudi dengan kuat. Tanda sedang mengendalikan emosi. "Tidak seperti yang dikatakan Elsa? Kau mencoba mengelak?" Tanyanya dengan nada datar.

"Bukan. Aku memang saat itu sedang bersama wanita. Tapi aku memiliki alasan dan alasan itu yang sampai saat ini tidak mau Elsa dengar." Mario menghela nafasnya dengan berat.

Emosi Nicholas masih terlihat dan ia berusaha sekuat tenaga mengendalikannya. Mario menyadari hal itu. Mario pun melanjutkan kalimatnya, merasa bahwa Nicholas bersedia untuk mendengarkan alasannya.

"Namanya Catherine. Dia adalah teman masa kecilku. Sebelum bertemu Elsa, aku selalu menemaninya. Aku menganggapnya sebagai adik, namun tidak demikian dengannya. Saat mengetahui aku dijodohkan dengan Elsa, dia seperti orang gila." Mario menarik nafas memberikan jeda. Sedangkan Nicholas sedari tadi diam mendengarkan. Walau otaknya ingin menyangkal cerita Mario, namun jauh di dalam hatinya, Nicholas merasa bahwa ini bukan kesalahan Mario semata.

"Dia tiba-tiba menghilang selama beberapa bulan. Orangtuanya sudah menyerah mencari keberadaan anak gadis mereka. Aku tidak enak hati untuk mengabaikan hal itu. Kemudian, saat aku mengetahui keberadaan Catherine, tepat saat Elsa ulang tahun dan aku berencana melamarnya. Aku.. jujur saja pikiranku terpecah belah. Disatu sisi, ada Elsa yang menungguku dan disisi lain aku menemukan sebuah harapan untuk menemukan Catherin.

Jari-jari Nicholas kembali menegang mendengar nama Elsa. "Dan kau lebih memilih Catherin." Nicholas menebak kelanjutan cerita Mario. Mario mengangguk dengan lemah.

"Kau benar. Aku akhirnya memilih Catherin. Aku temui dia dan aku terkejut melihat kondisinya." Mario menghentikan ceritanya dan menahan gejolak rasa sakit yang ia rasakan. Giginya saling bertautan keras, menampakkan gerakan pada rahangnya yang tegas. "Catherin bergaul bersama pemuda-pemuda di diskotek dan aku menemukan banyak suntikan." Mario menerawang melihat jalanan.

Nicholas mulai mengetahui kelanjutan cerita Mario.

"Dia mengaku terkena HIV. Aku marah. Kesal. Benci pada diriku sendiri. Aku merasa tidak bisa menjaganya. Aku berencana langsung membawanya ke orangtuanya, namun dia tidak mau. Dia hanya bilang ingin ke suatu tempat denganku. Dan disaat itulah sepertinya Elsa melihatku."

Nicholas terperangah. "Apa tujuanmu menceritakan ini kepadaku? Berharap aku akan memberitahu Elsa?"

Mario menggeleng. "Tidak. Kau tak akan melakukannya."

"Lantas?"

"Entah, aku hanya merasa percaya padamu, bahwa kau akan mendengarku."

Nicholas mendengus. "Bagaimana aku bisa mempercayai ceritamu?"

Mario memberikan secarik kertas dan menaruhnya di dasbor mobil. "Hanya ini yang bisa aku lakukan. Dan aku pastikan kau akan percaya padaku."

***

EmbraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang