26. Rutinitas

21 3 0
                                    

Elsa berjalan tergesa-gesa menuju ruang kelasnya. Ia merutuki kebiasaannya. Gara-gara ingin menyibukkan diri agar tidak teringat kejadian "walk in closet", Elsa maraton menonton film horror kesukaannya sampai ketiduran dan ia lupa menyetel alarm. Untung alam bawah sadarnya membangunkan dia tepat 1 jam 30 menit sebelum jadwal perkuliahan. Jadinya ia sempat untuk mandi dan berdandan ala kadarnya selama setengah jam dan sisanya dihabiskan selama perjalanan yang memakan cukup lama mengingat Manhattan lumayan jauh dari Princeton.

Elsa melihat sekeliling sambil mengendap kemudian mengintip dari balik jendela. Ternyata sang dosen sudah duduk manis di salah satu meja mahasiswa yang sialnya itu adalah meja yang selalu Elsa duduki ketika mendapat perkuliahan Statistik.

Sial. Sayup-sayup Elsa mendengar Proff. Bounty-dosen Statistik itu bersuara lantang.

"Ada yang tahu Miss Danich dimana?" Prof. Bounty, wanita bertubuh gemuk dan memakai rok span itu menatap nyalang ke seantero kelas. Matanya kemudian menuju ke Nata, yang duduk di samping meja Elsa. "Miss Nataniel?" Proff. Bounty menuntut penjelasan.

Nata menjawab sambil menunduk tidak berani menatap mata elang professor killer itu. "Miss Danich sedang sakit, Proff. Dia sedang datang bulan."

Prof Bounty melirik curiga. "Anda yakin? Lalu siapa yang mengintip di balik jendela itu?" Semua mata menuju kearah yang dimaksud Prof. Bounty. Ternyata Elsa tidak sadar jika puncak kepalanya terlihat sangat jelas. Nata pun melotot dan merutuki nasibnya hari ini yang akan berakhir di ruang dosen itu. Damn it!

***

"Sebenarnya kau gila atau bagaimana elsa? Sudah tahu akan kuliah pagi, jarak tempat tinggalmu lumayan jauh, pakai acara marathon nonton film, lagi. Sekarang bagaimana nasibku." Seusai kuliah statistik, benar saja mereka berdua-Elsa dan Nata-di panggil oleh Proff. Bounty. Mereka mengekori wanita killer itu dengan jarak 3 meter.

"Kau menyalahkanku? Aku bahkan tidak mintamu untuk membantuku." Elsa memutar bola matanya.

Nata melotot menatap Elsa. "Aku kan setia kawan. Memangnya kalau kau di posisiku tadi dan aku diposisimu, kau tidak akan menolongku?"

"Kalau situasi seperti tadi? Tidak akan." Elsa membuat tanda silang dengan kedua tangannya.

"Sial sekali kau Els. Aku sungguh menyesal." Elsa dan Nata pun tertawa tahu bahwa ini hanya gurauan mereka berdua.

Sesampainya mereka di depan ruangan Proff. Bounty, Elsa dan Nata menarik nafas sesaat sebelum Nata meraih gagang pintu untuk membukanya. Tepat bersamaan, pintu terbuka dari dalam yang otomatis membuat mereka berdua kaget.

Lucy, muncul dari dalam sambil membawa beberapa buku tebal bertuliskan "Advance AI". Pandangan mereka bertemu.

"Ah.. Kak Nata dan Kak Elsa, apa kabar?" Senyum merekah di wajah lucy si gadis berambut pirang.

"Oh.. Lucyana, baik. Kau .." Nata melirik buku yang dipegang oleh Lucy. "Mengambil kelas Advance AI?" Nata manatap lucy seolah tak percaya.

"Bukankah itu untuk semester 5, semester kami." Elsa melanjutkan.

Lucy tersenyum penuh arti. "Ahh.. ini, aku kebetulan di tawari program akselerasi untuk mengambil 2 matakuliah di semester ganjil, jadi aku mengambil 1 mata kuliah semester 3 dan semester 5."

Elsa memiringkan kepalanya sejenak berpikir. "Berarti kau sekelas dengan Nicholas dan Alvian?"

Belum sempat lucy menjawab, suara nyaring Proff. Bounty terdengar dari dalam ruangan. "Sedang apa kalian disana? Segera masuk!" Nata dan Elsa terlonjak kaget dan terburu-buru masuk mengabaikan Lucy.

***

Suasana di kantin cukup sepi mengingat jam masih menunjukkan pukul 10 pagi. Mahasiswa dari semester 1 lebih dominan memenuhi meja kantin. Mahasiswa tingkat atas rata-rata sudah bosan dengan makanan yang tersaji di kantin dan biasanya lebih memilih untuk makan di restoran. Alvian, Nicholas, dan Willy sedang duduk di salah satu meja yang beratapkan pohon rimbun, jauh dari sesaknya mahasiswa yang berbelanja.

"Ketiga wanita itu tidak ada yang kuliah?"

"Mereka kuliah." Willy menimpali sambil sesekali menyesap espressonya.

"Lalu?"

"Issabele tadi meneleponku bahwa ia baru selesai kelasnya Proff. Bounty." Seperti memiliki telepati, Willy menoleh ke belakang dan melihat Issabele memasuki areal kantin. Sosoknya yang ayu dan cantik benar-benar menjadi pusat perhatian. Secara tidak sadar, semua mahasiswa disana membuka jalan agar Issabele bisa lewat.

"Lihat itu wanitaku." Willy tersenyum senang. Nicholas melempar tisu yang baru saja ia gunakan untuk menyeka keringatnya ke kepala Willy.

"Wanita yang malang karena disukai olehmu." Nicholas terkekeh.

"Kau bodoh atau pura-pura tidak peka? Kenapa kalian tidak menjalin hubungan yang serius? Kau pikir hubungan tanpa status itu baik? Yah.. bagi budaya kita no problem. Tapi bagi budaya ibunya?" Alvian mulai menceramahi Willy.

"Mr. Ilmaq dan Mr. Fabian, bersabarlah. Tunggu saja tanggal mainnya." Gumpalan tisu kembali mengenai kepala Willy, kali ini dari Alvian.

"Hai." Issabele menarik kursi di samping Willy yang kebetulan kosong-mungkin sengaja disiapkan willy-dan menjatuhkan pantatnya disana. "Ah. Kuliah statistic itu menyebalkan. Kalian sudah pesan? Ada yang mau dipesan lagi?" Issabele mengambil menu dan segera menulis pesanannya.

Nicholas menggeleng. "Dimana Elsa dan Nata?"

"Mereka dipanggil oleh prof. Bounty ke ruangannya."

"Apa yang terjadi?"

Issabele tertawa lembut. "Si Elsa, entah apa yang dipikirkan wanita gila itu. Dia maraton menonton film horror sampai subuh padahal sudah tahu, esoknya ada kelas Prof. Bounty." Issabele mengacungkan tangannya memanggil pelayan kantin. Nicholas, alvian, dan willy dengan kompak geleng-geleng kepala.

"Lalu kenapa Nata ikut terseret?"

"Elsa telat. Prof. Bounty bertanya dia dimana, dan Nata menolong Elsa. Siapa yang tahu, kalau Prof. Bounty melihat kepala elsa menyembul keluar dari persembunyiannya."

Dan lagi-lagi mereka kompak menggeleng.

***

Elsa menggerutu dalam diam. Hukuman dari Prof Bounty adalah membuat 5 essay mengenai hubungan statistic dengan jurusan yang ia ambil. Sedangkan Nata hanya menulis surat permohonan maaf. Masih jelas teringat suara gelak tawa Nata membahana di sepanjang koridor ruang dosen.

"Hukuman anak SD." Elsa bergumam merasa tidak adil. Maka sekarang disinilah ia berada. Perpustakaan Princeton. Daerah paling jarang ia jamah bukan karena debu yang berasal dari buku. Bukan karena ia anti membaca buku. Tetapi karena hawa perfeksionis dan ambisius yang menguar di udara di dalam perpustakaan. Sebagian besar pengunjung perpustakaan Princeton adalah mahasiswa dengan ambisius yang sangat tinggi dan suka bersaing dalam olimpiade, tentunya elsa tidak termasuk kategori.

Elsa membuka perlahan pintu besar yang penuh ukiran gaya kuno tersebut. Suara decitan terdengar jelas menandakan pintu tersebut telah di makan waktu dan hal ini yang tidak disukai elsa. Menjadi pusat perhatian. Seluruh pengunjung perpustakaan menoleh ke arahnya dengan beragam tatapan. Ada yang merasa tertanggu dengan tatapan sinis *ini yang paling banyak*, ada juga yang memberinya tatapan datar tanpa ekspresi. Elsa menghela nafas dan memantapkan diri untuk lanjut melangkahkan kakinya. Dengan segera ia telusuri rak-rak mengenai statistic dan teknologi. Hidungnya sudah mulai gatal, ia lupa membawa sapu tangan atau masker untuk menutupi hidup karena ia memiliki alergi debu.

"Hatchim!!" elsa tak bisa menahan bersinnya dan lagi-lagi menjadi pusat perhatian. Elsa hanya bisa menunduk meminta maaf pada semua pengunjung dan sebuah sapu tangan terulur ke arahnya. Ia menegakkan badannya dan melihat siapa penolong itu.

***

EmbraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang