Tiga hari kemudian.
Tidak ada yang berubah dengan Princeton University. Hanya sekelompok wajah-wajah baru yang menghiasi suasana kampus di semester baru.
Kebetulan Nicholas menjadi ketua dewan eksekutif (seperti BEM di Indonesia) di fakultasnya, Alvian, Nata, dan Issabele juga termasuk anggota kepengurusan. Willy sempat menjadi wakil ketua, namun karena jadwal tandingnya yang semakin sibuk, dia terpaksa mengundurkan diri dan digantikan oleh Nata. Elsa? Jangan ditanya. Dia lebih memilih santai di penthousenya sambil menjalankan hobinya yaitu memasak.
"Kau sudah mengabsen semua mahasiswa baru itu?" Tanya Nicholas ke Issabele yang memegang posisi sekretaris. Hari ini Nicholas dengan rambut lurusnya dan sedikit lebih panjang dari semester lalu tetap terlihat menawan. Alis tebalnya sangat kontras dengan kulit putihnya. Memakai jas kepanitiaan, membuatnya makin tampak sempurna sebagai kelas senior. Tak sedikit mahasiswa baru yang berjenis kelamin wanita menatapnya tanpa berkedip sekalipun. Sedangkan para adam menatap Nata dan Issabele dengan tatapan memuja.
"Sudah, Nicholas. Kau tenang saja. Aku selalu berkompeten terhadap tugasku."
Nicholas tertawa. "Aku percaya itu. Sebenarnya aku agak menyayangkan dirimu yang memilih Willy. Kau terlalu sempurna untuk dia yang kekanakan." Nicholas bergurau sambil geleng-geleng.
"Hei! Aku tidak menjalin hubungan dengan Willy." Issabele menjawab dengan malu-malu. Pipinya bersemu merah. Semoga Nicholas tidak sadar.
"Aku tidak akan bertanya lebih dalam. Tapi aku sarankan, kalian harus memperjelas hal itu. Hubungan tanpa status sangatlah tidak enak di lihat orang, Issa." Nicholas memberikan killing smilenya kepada Issa agar gadis itu tidak terlalu tersinggung.
Issabele tersenyum lemah. "Aku menunggu Willy, nich."
Nicholas memutar bola matanya. Ternyata Willy penyebabnya!
Baru saja Nicholas beranjak dari kursinya ingin mengambil minuman kaleng, Alvian datang dengan tergesa-gesa.
"Nich, ada mahasiswa yang jatuh pingsan. Sepertinya dia sakit sejak awal kegiatan tadi."
Segera Nicholas berlari menuju lapangan, sudah terlihat kerumunan yang mengerubungi seorang gadis manis dengan rambut ikal panjang berwarna pirang. Wajah gadis itu sangat pucat dan suhu tubuhnya panas. Nicholas langsung memecah kerumunan dan mengendong gadis itu dengan bridal style, semua mahasiswi disana menahan napas dan seketika ingin sakit saat itu juga.
"Alvian, segera tertibkan mereka. Aku akan membawanya ke ruang istirahat." Alvian mengiyakan.
Semua mahasiswa disana segera membentuk barisan lagi. Tatapan mereka lagi-lagi terpana karena baru kali ini melihat wajah Alvian yang notabene menjabat sebagai bendahara, sehingga wajahnya tidak muncul dilapangan. Serempak pikiran mahasiswi sekarang adalah betapa beruntungnya mereka memilih fakultas ini. Sedangkan mahasiswa menatap dengan tatapan sebal. Yakin bahwa mereka akan sulit menemukan tambatan hati di fakultas ini.
***
Nicholas membuka pintu ruang istirahat dengan kaki kananya, karena ia sedang mengendong gadis rambut pirang tersebut.
"Emmng..." Gadis itu ternyata masih setengah sadar. Ia membuka matanya sedikit dan sepintas melihat Nicholas dan berbekas dipikiran gadis itu.
"Nata! Bantu aku." Nicholas pun memindahkan gadis itu ke sebuah ranjang yang sering digunakan dirumah sakit. Nata segera datang dan melihat gadis itu.
"Kau sudah sadar? Kau tahu ini dimana?" Nata bertanya kepada gadis pirang itu. Gadis itu hanya mengerjap-kerjapkan matanya tanda belum sepenuhnya sadar.
"Nat, aku akan menghubungi fakultas kedokteran. Kau tunggu disini." Nicholas segera beranjak namun ditahan oleh Nata.
"Biar aku saja. Aku punya kenalan dekat disana." Nicholas pun mengangguk dan duduk kembali.
Diselimutinya gadis berambut pirang tersebut. Ia lalu mengambil segelas air hangat. Saat Nicholas kembali ke sebelah gadis itu, ternyata gadis itu sudah sepenuhnya sadar.
"Kau sudah sadar? Kau tahu ini dimana?"
"Aku.. di kampus. Ini.. ini ruangan apa?"
"Kau pingsan dan aku membawamu ke ruang istirahat. Tunggulah, temanku Nata, sudah memanggilkan dokter. Namamu siapa?"
"Terimakasih.. kak." Gadis itu berusaha bangun dan bersandar. Nicholas segera membantunya. "Namaku Lucy. Lucy Marlians, kak." Gadis pirang yang bernama lucy itu tersenyum lemah karena masih sakit.
Nicholas tersenyum. "Sekarang kau istirahat sambil menunggu Nata datang bersama dokter. Aku ke lapangan sebentar. Kalau ada apa-apa teriak saja, anggota kepanitiaan berada di ruang sebelah." Nicholas beranjak dari kursinya. Namun, Lucy menahan tangan Nicholas.
"Na.. nama kakak siapa?"
"Aku Nicholas. Nicholas Fabian." Lucy mengangguk. Nicholas pun berjalan keluar ruangan.
Lucy terhenyak. Dia tahu Fabian. Keluarga terpandang dan terkaya diseluruh dunia! Tapi.. mungkinkah? Banyak nama Fabian diluar sana. Kenapa penampilannya sederhana? Lucy berpikir semua orang kaya akan memamerkan kekayaannya entah dari cara berpakaian, sikap atau aksesoris ditubuhnya. Tapi kakak kelas tadi sangat berbeda. Jantung Lucy berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
"Hai. Aku bawakan kau dokter." Nata muncul dari balik pintu dengan membawa seorang dokter dari fakultas kedokteran.
"Terima kasih, kak.. Nata?" Lucy lebih bertanya daripada menyatakan.
"Iya, aku Nataniel, Nicholas pasti sudah memberitahumu." Nata pun menoleh ke temannya yang berprofesi menjadi dokter. "Sam, tolong cek dia." Nata pun memberi ruang untuk Samuel, temannya.
***
Elsa bosan di penthousenya. Hari ini semua temannya sibuk dengan acara penyambutan mahasiswa baru. Ia berkali-kali di sarankan oleh Nata dan Issabele agar mengikuti kepengurusan di fakultas, tetapi selalu ditolaknya mentah-mentah. Apakah sekarang dia menyesal? Hm..
Hubungannya dengan Mario biasa saja. Tidak dalam hubungan seperti seorang wanita dan pria. Elsa masih bingung dengan perasaannya.
"Kalau kau masih sayang, bilang. Kalau tidak, bilang." Hari itu Issabele membentaknya karena telalu gremetan dengan Elsa tiba-tiba menjadi gadis yang tidak pernah pacaran sebelumnya. Nata yang duduk disamping Issabele sampai ternganga karena baru kali ini ia melihat Issabele habis kesabaran. Berarti masalah Elsa ini benar-benar berjalan lambat.
"Issa?? Wow." Elsa hanya merespon Issabele dengan dua kata itu yang disambut dengan pelototan Issabel dan Nata.
Elsa membaringkan tubuhnya di ranjang king size dengan sprai berwarna kuning muda yang cerah. Ia memandang ponselnya berahap salah satu temannya menghubunginya dan mengajaknya ngobrol untuk menghilangkan kejenuhannya di penthouse. Tiba-tiba saja ponselnya bergetar dan sontak membuat Elsa kaget. Tak urung ponsel itu jatuh ke atas bibirnya dan berbunyi 'tak' tanda bahwa berbenturan dengan giginya.
"AAAWWWW!! Ponsel sialan." Elsa pun membekap mulutnya dengan tangan dengan mata terpejam. Rasanya perih sekali. Bibir dalamnya berdarah, mengusap-usapnya sambil melihat layar ponsel. Mario.
"Halo."
"Halo, Elsa. Kau dimana? Apakah kita bisa bertemu sebentar? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan." suara Mario terdengar dari ujung sana.
Elsa gelagapan. Ia belum siap bertemu Mario. Terakhir bertemu dengan Mario, saat Mario mencium elsa malam itu.
"Eh.. ah.. aku.. aku di kampus sedang memberi pengarahan ke mahasiswa baru. Apakah penting sekali Mario?" Elsa tanpa sadar berbohong.
"Berarti kau sibuk ya, jam berapa kau ada di penthouse?"
"Aku belum tahu, mungkin acara ini sampai malam." Elsa menggigit jarinya. Kebiasaan saat ia berbohong.
"Baiklah kalau begitu. Lanjutkan aktivitasmu, Elsa. Bye"
"Bye Mario." Elsa pun menatap ponsel dan memiringkan kepalanya.
"Ah! Benar juga. Kenapa aku tidak ke kampus?" Elsa tiba-tiba bersemangat dan segera mengganti bajunya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Embrace
RomancePrivate acak. Follow dulu, kalau mau baca :D -------------------------------------------------------- "Ijinkan aku Elsa. Aku rasa aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi." Nicholas menarik Elsa lebih dekat dan mencium bibir gadis itu dengan lembu...