Kota Princeton memang selalu cerah beberapa hari ini, secerah hati Elsa. Sudah lama dia tidak seriang ini saat bertemu dengan besties. Dengan kecepetan ekstra tinggi, Elsa berlarian dari gerbang Princeton menuju Gedung fakultasnya. Saking riang dan terlalu cepatnya, beberapa kali ia menyenggol mahasiswa yang berlalu lalang menyebabkan beberapa orang mendecakkan lidah.
"Sorry!!" Ucapnya lantang pada seorang pria berkacamata yang merupakan teman seangkatannya di jurusan. Elsa mengatur nafasnya saat sudah mencapai pintu kelas dan menjelajahkan mata ke seantero ruang kelas. Nata dan Issabele di pojokan sambil menggambar sesuatu. Elsa tersenyum dan berlari kemudian memeluk kedua sahabatnya.
"Hei!! Kau membuat karyaku hancur Elsa!!!!!" Nata melotot marah kea rah Elsa sambil menunjukkan kertas yang berisi sketsa baju asal-asalan yang di rancang Nata. Kini sketsa itu tambah hancur setelah sebuah coretan panjang terlentang di tengah-tengah sketsa itu. Hasil ulah Elsa tentunya.
"Oh maafkan aku." Elsa kaget dan menutup mulutnya. Dia mengambil sketsa itu dari tangan Nata dan mengernyit. "Ini bukan salahku! Sketsa ini memang hancur dari awal." Ucapnya jujur dan tidak mau disalahkan. Di sampingnya, Issabele cekikikan. Sebenarnya dia sedari tadi menahan tawa saat melihat sketsa yang di gambar Nata. Namun melihat gadis langsing itu berkutat serius sejak pagi, membuatnya tak tega untuk berterus terang.
"Kau tertawa?" Kali ini pelototan mengarah ke Issabele. Nata merebut sketsanya dari tangan Elsa. Dilihatnya secara detail sketsa itu. "Memang buruk." Ucapnya lemah sambil melipat sketsa itu dan melemparnya ke tong sampah yang disambut dengan tatapan menganga dari kedua wajah sahabatnya.
"Kau sakit hati?" ucap Elsa dan Issabele berbarengan. "Maafkan kami."
Nata mengibaskan tangannya. "Tidak. Memang aku yang tidak ada bakat sejak kecil. Jadi Elsa? Apa yang membuatmu begitu bahagia hari ini?" Nata terlihat biasa saja dengan insiden sketsa hancur itu dan memusatkan pikiran kepada Elsa. Ini salah satu sikap dan sifat positifnya. Nata mampu mengontrol dirinya untuk tidak down karena pikirannya yang telah dewasa dan dia sudah mengakui bahwa ia tidak berbakat melukis walau itu cita-citanya sejak dulu.
Elsa tersenyum lebar. "Tidak ada apa-apa. Hanya kebetulan saja aku bangun pagi dengan perasaan cerah."
"Apa? Kau sudah jadi sama Nicholas?" Nata menatapnya dengan tatapan sombong. Bangga bahwa tebakannya pasti 100% benar. Elsa kembali menganga.
"Bukan?"
Elsa mencibir. "Bukan." Kemudian memain-mainkan ujung rambutnya. "Sejujurnya aku bingung." Dilihatnya kedua wajah sahabatnya satu persatu. Nata dengan alis terangkat menunggu lanjutan ucapan Elsa, sedang Issabele menatap Elsa lurus dengan senyuman manis, menunggu lanjutan cerita. Elsa menghela nafas. "Aku bingung dengan perasaanku sendiri pada Nicholas."
Seketika ketegangan di antara nata dan issabele lenyap. Nata menyenderkan punggungnya dengan rileks ke kursi. Diputarnya kedua bola matanya karena terlalu heran dengan sikap Elsa. "Elsa, kau terlihat seperti anak remaja yang baru mengenal cinta. Padahal aku yakin, kau pasti sudah pernah ciuman dengan Nicholas kan??" Nata tak dapat mengontrol suara yang dengan lancer menyembur keluar dari bibir sexynya. Elsa melotot dan melempar pensil ke kepala nata.
"Benar kan dugaanku?" nata tak menghiraukan lemparan pensil itu. Elsa tidak menjawab, tapi mimic mukanya sudah memberitahu semuanya.
"Jadi benar, Elsa?" Kali ini issabele yang bertanya dengan nada lembut dan perhatian, tidak blak-blakan dan berkoar-koar seperti nata tadi. Elsa mengangguk kecil dengan wajah memerah.
"Apa yang kau rasakan?" Nata mencondongkan tubuhnya ke Elsa dan kali ini suaranya setengah berbisik. Elsa memejamkan matanya, berusaha mengingat bagaimana tubuhnya merespon kala Nicholas mencumbunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embrace
RomancePrivate acak. Follow dulu, kalau mau baca :D -------------------------------------------------------- "Ijinkan aku Elsa. Aku rasa aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi." Nicholas menarik Elsa lebih dekat dan mencium bibir gadis itu dengan lembu...