31. Private (private)

40 3 1
                                    


Elsa sampai di penthouse Nicholas. Ia melepas sepatunya dan menggunakan sandal yang disediakan apabila tamu berkunjung. Begitu banyak sandal selop di sana. Elsa mengernyit karena yakin di penthouse ini hanya Nicholas yang menempati. Saat dulu ia mampir ke tempat tinggal itu, Elsa tidak terlalu memerhatikannya. Sandal itu terlalu imut untuk ukuran anak kuliahan seperti mereka. Berbentuk kelinci dengan dua telinganya mencuat ke atas dan tidak lupa berhiaskan pita pink. Sungguh bukan Nicholas.

"Nich, sandal..."

"Bukan aku. Percayalah. Itu ulah Ibuku yang membelinya." Nicholas langsung memotong pertanyaan Elsa karena tahu apa yang akan ditanyakan gadis itu. Pertanyaan yang sudah ia hafal di luar kepalanya. Hampir semua teman-teman Nicholas yang berkunjung menanyakan hal serupa. "Kau tahu alasan ibuku apa saat memilih sandal itu?"

"Apa?"

"Untuk istriku kelak. Beserta kesebelas anakku."

Elsa melotot takjub. "What?? Kau serius??"

Nicholas mengendikkan bahu. "Apakah aku terlihat bercanda?"

Elsa tertawa keras hingga membungkuk dan memegang perutnya. "Kau lebih terlihat putus asa." Nicholas hanya mencibik kesal kemudian melangkah ke ruang TV.

"Nich, aku rasa aku belum sempat memberitahumu." Elsa berujar mengekori Nicholas masuk ke dalam ruangan.

"Apa?"

"Dari semua ruangan di sini, aku jatuh cinta dengan dapurmu." Elsa berjalan kearah dapur Nicholas yang minimalis. Nicholas mengikutinya.

"Kau tidak jatuh cinta pada pemilik dapur itu?"

Elsa menyikut dada Nicholas dengan sikunya dan tertawa. "Sungguh, aku jatuh cinta dengan dapurmu." Elsa mengulangi kalimatnya.

"Kenapa? Bukankah dapurku seperti kebanyakan penthouse di Manhattan? Aku rasa dapurmu juga bagus."

Elsa menggeleng. "Bukan. Aku suka dapurmu karena saat memasak bisa sekaligus melihat pemandangan New York. Bukankah itu sangat indah?" Elsa duduk di salah satu kursi di sana dan menyangga kepala dengan tangan kirinya sambil melihat pemandangan kota New York yang sangat indah di langit malam dari lantai 90.

 Bukankah itu sangat indah?" Elsa duduk di salah satu kursi di sana dan menyangga kepala dengan tangan kirinya sambil melihat pemandangan kota New York yang sangat indah di langit malam dari lantai 90

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau begitu masaklah disini." Nicholas tiba-tiba berujar. Elsa menoleh kaget dan mengikuti arah pandang Nicholas. Dilihatnya Nicholas mengeluarkan pasta dan beberapa sayuran dari dalam kulkas.

"Nich, kau yakin? Ini sudah malam."

Nicholas tersenyum. "Yakin sekali. Aku belum makan malam. Memangnya kau sudah?"

Elsa menggeleng sambil tersenyum riang.

"Kalau begitu, kau mau membuatkan aku pasta?"

Elsa beranjak dari kursinya dan bersemangat. "Dengan senang hati, tuan Nicholas Fabian."

Nicholas tertawa melihat sikap elsa yang kembali ceria seperti dulu. "Selagi kau memasak, akan kubuatkan teh hijau ala Chef Nicholas, tuan putri Elsa."

***

Elsa segera mengambil sayur-sayuran dan mencucinya. Terdengar nada dering dari ponselnya. Tertera nama Nata disana.

"Hai, Nata." Elsa menjepit ponselnya dengan menggunakan bahu dan telinga kanan sementara tangannya sibuk mencuci sayuran.

"Kau dimana?"

"Aku di penthouse Nicholas, ada apa?"

"Kau bersama Nicholas?? Sudah ya, aku tutup dulu." Biip. Sambungan terputus secara sepihak dan membuat elsa mengernyit.

"Ada-ada saja dia." Elsa berbicara sambil geleng-geleng.

"Kenapa Nata?" Nicholas kembali membawa dua cangkir yang satu berisi teh hijau dengan asap mengepul di atasnya dan satunya lagi berisi kopi hitam.

"Kau yakin minum kopi jam segini?" Elsa mengintip sekilas cangkir yang di bawa Nicholas.

"Yakin. Sudah rutinitasku. Ini buatmu." Nicholas memberikan teh hijau untuk elsa.

"Terima kasih, Nicholas fFabian." Ucap Elsa sambil membungkuk dan menerima secangkir teh hijau itu.

"Sama-sama Ratu Elsa Danich." Lagi-lagi mereka berdua tertawa.

Sementara itu dikediaman Nataniel, Nata dengan tak sabar mengetikkan pesan ke ponsel Nicholas.

***

Bunyi desahan keras menggema di ruangan kecil itu. Tak perlu khawatir terdengar dari luar karena ruangan ini di desain kedap suara. Amat privasi hingga penghuninya bebas melakukan apapun seperti yang kini tengah di lakukan Lucy.

Ia sudah telanjang dengan Nicholas di hadapannya. Pergerumulan mereka terpantul di cermin besar yang terletak di dinding. Keringat menetes di pelipis gadis berambut pirang itu. Ada kepuasaan yang ia dapatkan jika berada di ruangan ini. Ruangan yang hanya ia yang tahu. Semua foto Nicholas terpajang di sana, foto yang ia ambil secara diam-diam. Dimulai sejak masa orientasi itu, Lucy menetapkan bahwa Nicholas adalah miliknya.

"Sayang, kau.. benar benar hebat. Aku selalu puas..hh..." Racau Lucy di sela-sela desahannya. Lucy mencium wajah Nicholas. Terdengar bunyi ponsel Nicholas yang berada di nakas. Lucy menghentikan aktivitasnya sesaat dan mengambil ponsel itu. Terdapat 1 pesan.

From nata.

Gila kau. Sudah sampai mana? Kau tidak bilang bahwa sudah mengajak Elsa ke penthousemu. Ternyata kau cepat juga ya, aku kira kau pasif diam ditempat. Hahaha. Selamat menikmati hari ini bos.

Lucy geram dan melempar ponsel Nicholas hingga layar ponsel itu retak. Ia kemudian berjalan ke arah Nicholas dan menamparnya. Nicholas bergeming. "Aku pastikan tidak akan ada yang menghalangi kita. Itu sumpahku, Nicholas." Lucy membalikkan badan dan meninggalkan manekin itu.

***

EmbraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang