15. Bimbang

40 6 2
                                    


"Mengapa tiba-tiba kau belajar masak?" Siang itu Nata berkunjung ke penthouse Elsa karena si tuan rumah yang memintanya.

Elsa hari ini terlihat sangat cantik padahal wajahnya sudah belepotan tepung dimana-mana. Celemek bergambar Winnie the Pooh bertengger manis di tubuhnya yang mungil. Elsa menoleh ke arah dimana Nata duduk. "Aku malu. Kau tahu? Beberapa hari yang lalu, aku makan siang dengan Alvian dan aku membuka aibku sendiri."

"Maksudmu?" Tanya Nata sambil menyantap pancake buatan Elsa yang tidak ada rasanya.

"Bagaimana pancakeku? Enak?" Elsa berjalan ke arah Nata dan duduk tepat di depan temannya. tatapan binar terpancar di iris abu itu berharap bahwa jawaban Nata adalah "Sangat enak"

"Sirup maple dan es krim ini menyelamatkan pancakemu, dear. Jika tidak ada mereka berdua, pancakemu akan sia-sia di tempat sampah. Hahahaha"

Elsa memberenggut. "Jahat sekali kau. Aku harus berlatih ekstra."

"Jadi maksudmu apa saat kau makan siang dengan Alvian?" Nata mengulang pertanyaannya.

Elsa pun menceritakan insiden saat ia memotong daging steak hingga hancur berantakan yang kini direspon dengan tawaan yang memenuhi ruangan penthouse Elsa.

"Ah! Kau puas sekali menertawakan aku. Kemarikan piringmu." Elsa menyambar piring kecil yang Nata gunakan untuk mencicipi pancake buatan Elsa. Tidak ada tersisa sama sekali.

"Tidak enak tapi habis juga, dasar kau ini." Elsa menuju dapur dan mencuci perabotan yang ia pakai untuk membuat pancake tadi. Saat itu ponselnya bergetar. Nata yang kebetulan berada disana melihat nama DAD tertera di layar ponsel.

"Els! Ayahmu menghubungimu."

"Angkat saja, Nat. Beliau kan mengenal dirimu. Tanganku masih penuh sabun." Teriaknya dari dapur.

Nata pun memencet answer "Selamat sia.."

"Elsa, kau dimana? Aku harap di penthouse. Aku sedang menuju ke sana. Dalam waktu 9 menit aku akan tiba, tolong tunggu aku."

Nata yang mendengar suara itu mengernyit dan melihat nama yang tertera dilayar ponsel. Benarr ni ayahnya. Tapi kenapa seperti suara pria muda. Nata pun kembali menempelkan ponsel ketelinganya.

"Elsa? Kau mendengarku?" Nicholas kembali bersuara dari seberang.

"Ni..cho..las?" Nata menebak.

"Ini siapa? Dimana Elsa?" Nicholas melihat sekilas layar ponselnya yang ia letakkan di dasbor. Saat ini ia menelpon menggunakan Bluetooth.

"Aku Nata, aku sedang di penthouse Elsa. Perlu ku panggilkan Elsa?"

"Tidak perlu, aku akan tiba disana beberapa menit lagi." Sambungan terputus.

Nata keheranan. Sepertinya sesuatu yang serius. Sebaiknya dia harus pergi dan memberikan ruang untuk mereka berdua. Pikirnya adalah Nicholas ingin menembak Elsa.

Elsa muncul dari ruang dapur sambil melepas celemeknya. "Apa kata ayahku, Nata?"

"Oh.. tidak, hanya menanyakan kabarmu dan kegiatanmu sekarang. Omong-ongong aku balik dulu ya." Nata pun beranjak dari kursi, mengenakan jaket dan mengambil tasnya.

"Lho? Kenapa terburu-buru?" Elsa mengikuti Nata sampai ke pintu penthouse.

"Maafkan aku, aku lupa bahwa aku ada janji dengan Veronica. Kau tahu kan, bagaimana kalau adikku ngambek?"

"Ah I know. Baiklah. Hati-hati kau dijalan." Mereka pun berpelukan singkat dan Nata menuju lift. Elsa menutup pintu penthousenya.

Fiuh. Untung Elsa tidak curiga. Nata memencet tombol lift menunggu terbuka dan saat itu ternyata Nicholas berada di dalam lift. Mereka sama-sama terkejut.

"Kau lebih cepat dari yang kuduga." Nata memulai percakapan.

"Elsa?"

"Tenang, dia ada di dalam. Aku sengaja pergi agar kau leluasa berterus terang. Berterima kasihlah kepadaku. Good luck bro." Nata pun masuk ke dalam lift dan melambaikan tangannya sebelum pintu lift tertutup. Nicholas hanya mengernyit tak paham.

Bagaimana dia bisa tahu?

***

Ting tong...

Elsa baru saja akan menonton TV sambil selonjoran di sofa saat pintu penthousenya berbunyi. "Ah Nata, pasti dia ketinggalan sesuatu." Berpikir itu adalah Nata membuat Elsa tidak mengecek layar intercome. Ia lngsung menuju pintu dan membukanya.

"Ada apa lag.." Kata-kata Elsa terhenti saat melihat siapa yang di hadapannya sekarang. Nicholas dengan tatapan yang sedih, letih, tak bersemangat dan seperti sudah berhari-hari tidak mengurus diri terlihat dari munculnya rambut-rambut halus disekitar dagunya.

"Nicholas?"

"Hai, Elsa, boleh aku masuk?"

"Iya, silahkan. Maaf penthouseku berantakan." Elsa diam-diam menendang sepatu dengan sembarang sehingga sepatu itu teronggok di ujung dan tersembunyi. Sesudah Nicholas masuk, Elsa menutup pintu dan mengekor di belakang pria itu.

"Kau mau.." ucapan Elsa terpotong. Nicholas tiba-tiba memeluk Elsa dengan erat. Pelukan yang mendadak hingga mampu membuatnya mundur dua langkah karena beban dari tubuh Nicholas. "Nich? Kau kena.."

"Semenit saja." Nich pun semakin mendekap erat tubuh mungil Elsa.

Beribu pertanyaan berkecamuk di otak Elsa sementara debaran jantungnya semakin meningkat.

Astaga. Nich bisa-bisa merasakan debaran jantungku. Elsa pun berusaha melonggarkan pelukan itu, namun tenaga Nich mengalahkannya. "Nich.. aku mulai sulit bernapas."

Dengan enggan, Nich akhirnya melepaskan pelukan itu. "Maaf." Dia pun memalingkan muka dari Elsa dan langsung duduk di sofa. Kedua tanganya bertumpu pada lututnya dan saling bertautan. Sementara dia hanya menunduk. Alih-alih menawarkan minuman dan menutupi kegugupannya, Elsa lebih memilih duduk disamping Nicholas dan memegang pundak pria tampan itu.

"Ada apa? Ceritalah."

Jeda beberapa saat hingga akhirnya Nicholas menghela nafas dengan berat dan memantapkan hati. Ia pun menoleh ke arah Elsa dan menatap gadis itu tepat dikedua manik matanya. Dipegangnya kedua lengan elsa.

"Elsa, ada sesuatu yang harus kau ketahui."

***

Setetes, kemudian dua tetes hingga akhirnya cairan bening itu benar-benar mengalir dari pelupuk mata Elsa. Nicholas akhirnya menceritakan semua tanpa ada satupun yang ditutupi. Alasan mengapa ia mendadak ke Paris. Nicholas menghapus air mata Elsa. Ditatapnya gadis mungil itu.

"Elsa, maafkan aku."

Elsa menggeleng. "Tidak Nich. Kau tidak ada salah apapun. Aku hanya kaget dengan hal ini." Elsa pun menduduk membuat tetesan air mata jatuh membasahi celana jeansnya. Nicholas baru saja ingin meraih puncak kepala Elsa saat gadis itu menegakkan badan dan berusaha tersenyum. Ia pun menatap Nicholas.

"Nich, percaya padaku. Aku baik-baik saja." Elsa tersenyum. namun beberapa saat Elsa bergeming dan menerawang, hingga 5 menit sudah berlalu dalam kebisuan.

Terluka. Itu yang kini Nich rasakan. Iris abu yang selalu ceria itu kini meredup. Menyisakan luka dan kepedihan. Segala ketakutan yang ia pikirkan jika ia menceritakan hal ini sepertinya benar-benar akan terjadi. Tetapi Nich bisa memaklumi Elsa. Gadis itu memang perlu waktu sendiri. Nicholas menghela nafas. "Istirahatlah dan jangan lupa makan. Aku pergi dulu, Els." Sebuah dorongan kuat membuat Nich meraih puncak kepala gadis itu dan menciumnya sekilas.

***

Cuap cuap dari penulis :

Maaafff ceritanya membosankan ya?? *masih belum percaya diri*

Akhir-akhir ini juga tugas kuliah banyak sekali, setelah hari raya nyepi minggu lalu, jadinya lama baru update.

seperti biasa, kalau suka jangan lupa tinggalkan jejak ya, kawan.

Thanks xoxo.

EmbraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang