34. Rencana

32 3 1
                                    

"Halo, Nich."

"Hai, Elsa. Kau sibuk hari ini?"

***

----------------------------------------------------------------------

"Jadi kita mau kemana Nich?" Sore ini, setelah Nicholas menghubungi Elsa yang saat itu sedang menonton drama, Nicholas mengajaknya kesuatu tempat. Pria itu hanya berpesan untuk memakai pakaian nyaman dan tidak berlebihan. Elsa hanya mengerutkan kening. Terpaksa ia mengikuti perintah Nicholas tanpa protes apapun hingga saat mereka sudah diperjalanan. "Nicholas, kita mau kemana?" Tanyanya sekali lagi, kali ini dengan nada sedikit gusar.

"Kau akan tahu saat tiba nanti. Sabarlah." Nicholas tersenyum sambil mengelus puncak kepala Elsa dengan penuh kasih sayang. Wajah Elsa sontak merona dan dia menjadi salah tingkah. Ditepisnya tangan Nicholas yang masih enggan berpisah dengan rambut halus elsa.

"Nich, sudahlah. Kau membuatku kikuk." Akunya jujur. Nicholas tertawa kecil dan mencubit kecil pipi mulus Elsa. Pria itu kembali memusatkan pikiran ke jalan raya yang kali ini membelok kearah kanan, memasuki sebuah perumahan elit. Elsa ternganga. Sepertinya ia sudah mulai bisa menebak kearah mana Nicholas akan membawanya.

"Jangan bilang kalau kau.."

"Exactly! Jangan marah ya," Nicholas melirik Elsa sambil tersenyum dan penuh permohonan. Elsa mendengus kasar dan menyandarkan punggungnya ke sandaran jok mobil.

"Kalau kau lebih awal memberitahuku, aku akan lebih menyiapkan diri. Lihat? Pakaianku sungguh tidak pantas."

"Hey, yang namanya tidak pantas itu kalau kau tidak memakai baju ke sini."

Mata Elsa melotot kesal dan memukul lengan Nich dengan ringan. Mobil mereka menepi pada halaman parkir yang begitu luas. Terdapat patung dengan air mancur yang menghiasi ditengah-tengah lahan parkir. Rumah dengan lobi yang luas serta pilar-pilar tinggi memperlihatkan seberapa mewah dan megahnya kediaman Fabian. Nich keluar dari mobil dan segera berjalan kearah Elsa untuk membukakan pintu dan mempersilahkan Elsa keluar. Tidak lupa Nicholas menjulurkan tangan kanannya untuk siap di raih Elsa. Mau tak mau Elsa tertawa kecil dan menyambut uluran tangan Nicholas.

"Kau tidak perlu bersikap begini. Demi Tuhan Nich, aku lucu melihatmu berkelakuan seperti pangeran di dongeng-dongeng yang aku baca."

"Tapi kau cukup terkesan, bukan?" Ucap Nicholas penuh kebanggaan. "Ayo, kita ke dalam. Orang tuaku pasti akan terkejut melihatmu."

Seketika Elsa berhenti untuk berjalan. "Kau belum bilang apapun pada mereka soal kedatanganku?"

Sebagai jawaban, Nicholas menggeleng. "Surprise. Ayo." Nicholas mengenggam erat tangan Elsa seakan takut Elsa menghilang dari hadapannya. Sifat possessive yang membuat Elsa merasakan kehangatan sekaligus debaran aneh yang akhir-akhir ini menemani hari-harinya ketika melihat Nicholas.

Nicholas masuk ke dalam ruangan yang sedikit mirip aula. Elsa yang merupakan putri orang kaya masih saja takjub melihat seberapa kayanya keluarga Nicholas. "Nich. Aku masih saja lupa, kalau kau orang terkaya di negara kita."

Nich hanya terkekeh. Ia masih menggemgam jemari Elsa dan menariknya lebih dalam menuju ruang keluarga. "Mommy! Dad! Aku pulang." Teriakan Nicholas seketika bergema diruangan seluas dan setinggi ini. Seorang wanita paruh baya menoleh dan langsung terpekik senang saat melihat anak semata wayangnya datang secara tiba-tiba.

"Anakku! Kemarilah nak." Mrs. Amy merentangkan tangannya dan menyambut Nicholas. Elsa tersenyum melihat kehangatan keluarga Nicholas. Walaupun mereka sangat kaya raya, keluarga Nicholas sepertinya sangat saling menyayangi dan tidak gila kerja terbukti dari adanya kedua orang tua Nicholas di rumah ini. Tidak seperti kedua orang tua Elsa yang lebih banyak menghabiskan waktu di kantor, Elsa bahkan sangat jarang berkunjung ke rumahnya di London, karena ia tahu, bahwa rumah itu pasti kosong dan hanya berisi para pelayan rumahnya.

"Maafkan aku, Mom. Liburan semester lalu aku tidak menemani Mom, karena ada beberapa masalah." Nicholas memeluk ibunya lebih erat. Mrs. Amy mengusap-usap punggung Nicholas.

"Kau berutang pada Mom. Tapi tak apa, dad sudah menceritakannya pada Mom." Mrs. Amy menguraikan pelukannya dan tak sengaja matanya menatap kearah Elsa, yang sedari tadi berdiri di belakang Nicholas. Dahinya mengkerut sesaat. "Sebentar.. apakah ini masalahmu, Nak?" Tebak Mrs. Amy melihat ke arah Elsa namun bertanya kepada Nicholas. Elsa hanya memberikan tatapan tak paham dengan ucapan Mrs. Amy. Mrs. Amy menghampiri Elsa dengan mata berbinar.

"Namamu siapa, Nak?" Tanya Mrs. Amy dengan lembut. Sangat lembut sampai-sampai membuat Elsa ingin menangis karena terharu. Ibunya bahkan tak pernah selembut ini bertanya kepadanya. Nada yang dilontarkan Mrs. Amy benar-benar membuat Elsa seperti disayang oleh wanita paruh baya itu.

"Saya Elsa Danich, tante." Elsa membungkuk menghormati Mrs. Amy dan menyalim tangan kanan wanita itu. Mrs. Amy terkaget sebentar kemudian melihat Nicholas dengan pandangan bertanya—darimana kau mendapat gadis sopan ini—yang direspon senyuman jahil oleh Nicholas.

"Nak Elsa kemarilah, jangan berdiri begitu." Mrs. Amy mengajak Elsa untuk duduk di salah satu sofa empuk disana. Elsa mengikuti dengan senyuman. Nicholas mengikuti Elsa dan duduk di samping kanan gadis itu, sementara Mrs, Amy duduk di kiri Elsa. Masih digenggamnya tangan Elsa oleh Mrs. Amy.

"Kau putri Martin Danich?"

Sebagai jawaban Elsa mengangguk. Mrs, Amy semakin memperlihatkan senyum tulusnya sambil membelai lembut rambut Elsa. Elsa kaget dan menjadi kikuk karena diperlakukan terlalu baik oleh ibu Nicholas yang baru saja ia temui.

"Apa kabar, Nak? Sudah lama aku tidak melihatmu. Kau sudah tumbuh sebesar ini." Ucap Mrs. Amy yang segera membuat Elsa dan Nicholas berpandangan.

***

The Edison Ballroom.

Ruangan menjulang tinggi nan megah akan menjadi tempat berlangsungnya acara pesta ulang tahun Lucy. Sejak siang tadi Lucy berada di salah satu sofa disana sambil menyesap wine mahal yang dihadiahkan mantannya untuk ulang tahunnya ke 19. Ia melihat sekeliling sambil tersenyum puas melihat dekorasi pestanya yang super mewah. Senyuman angkuh tercetak jelas di wajahnya yang selalu ia tampilkan polos di kampus.

"Hey." Sebuah tangan kokoh memegang bahu Lucy membuat si pemilik menoleh ke belakang dan tersenyum miring.

"Kau baru saja tiba?" Tanya Lucy yang dijawab dengan anggukan pria itu. Si pria mengambil gelas wine Lucy dari gadis itu dan menyesapnya.

"Lumayan." Senyum mengejek tercetak miring di wajah pria itu.

"Jadi gimana? Kau sudah siapkan barangnya?" Tanya Lucy setengah berbisik.

Diletakkannya sebuah botol kecil berisi cairan berwarna bening ke atas meja bundar disana. Pria itu terkekeh. Lucy tersenyum puas melihat botol itu. Diambilnya barang itu dan dilihatnya dengan seksama. Lalu dilemparnya kembali ke meja. si pria melotot.

"Hei, hati-hati. kau kira mudah mendapatkannya?"

"Bawalah itu." Lucy kembali berbisik. Dan si pria kembali mengangguk. Rencananya pasti akan berhasil.

***

EmbraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang