Terima kasih.
Nicholas mengusap wajah dan menengadah melihat langit-langit ruangan kantornya. Ia baru saja mendapat pesan dari Mario. Setelah ia menceritakan kepada Elsa 5 hari yang lalu, gadis itu tidak pernah sekalipun menghubunginya ataupun menampakkan diri dalam obrolan grup besties. Dan tiba-tiba saja Mario mengatakan terima kasih. Berarti Elsa sudah bertemu dengan Mario?
Lagi-lagi helaan nafas kasar keluar dari bahasa tubuh pria itu. Aku harus siap kemungkinan terburuk. Nicholas memejamkan mata dan berusaha untuk bangkit. Ketakutannya bahwa kemungkinan Elsa kembali lagi dengan Mario terasanya menyesakkan dadanya. Ini bahkan lebih sakit ketimbang tidak memenangkan tender!
"Ada apa dengan putra semata wayangku?" Tiba-tiba sebuah suara berat mengagetkan Nicholas hingga ia tersentak dari kursinya.
"Daddy! Kau mengagetkan aku." Nicholas pun menghampiri ayahnya dan memeluk pria gagah itu. "Duduklah, Dad. Mau kubuatkan secangkir kopi?"
Mr. Bryan mengangguk. "Boleh. Hm, aku sudah mengetuk pintu lebih dari 3x dan tidak ada sahutan. Apa yang sedang kau pikirkan sampai kau tidak sadar ayahmu datang?" Mr. Bryan duduk di sofa sambil mengambil majalah IT terbitan terbaru yang terletak di meja.
"Hanya masalah kecil dengan temanku, Dad. Tidak perlu kawatir." Ucap Nicholas sambil menuangkan kopi ke dalam cangkir cantik.
"Masalah kecil yang mampu membuatmu tidak tidur selama beberapa hari belakangan ini. Dan itu? Astaga! Kau menanam dan merawat rumput-rumput halus di dagumu." Mr. Bryan pun terkekeh melihat penampilan Nicholas. Memang benar. Kini penampilan Nicholas seperti seorang pria yang tak terurus. Kantung mata tebal, serta warna hitam menghiasi di bagian bawah matanya dan rambut-rambut kecil yang mulai muncul di dagunya.
"Dan pakaianmu? Oh sayang. Kau sebenarnya berniat untuk ke kantor, tidak?" Mr. Bryan geleng-geleng melihat baju Nicholas yang kusut tanda belum di setrika dan langsung dikenakan asal-asalan.
Nicholas memberikan cangkir berisi kopi itu ke ayahnya dan duduk di depan ayahnya. "Ada apa daddy mencariku?" Tanya Nicholas tak mengacuhkan serentetan komentar Mr. Bryan tentang penampilannya.
"Kau ini. Memangnya perlu sebuah alasan untuk bertemu anak kandungku?" Nicholas hanya terkekeh.
"Mommy mu. Dia bertanya kapan kau menemaninya. Kau berjanji akan pulang saat liburan semester dan sampai sekarang kau tak menampakkan batang hidungmu di rumah. Kau sebenarnya masih anak kami atau bukan sih?" Mr. Bryan mengomel layaknya seoarng ayah memarahi anaknya yang pulang larut malam.
Ah! Iya janji itu. Maafkan aku Mom! "Maaf Dad." Nicholas tidak membantah.
Mr. Bryan menghelas nafas sambil menatap anaknya lekat-lekat. Di tutupnya majalah IT yang tadi di ambilnya. "Nicholas, ayah tidak tahu seberapa berat masalah yang sedang melandamu sampai kau berpenampilan mengerikan begini. Tapi satu yang ayah ingatkan. Apapun itu, jika hatimu yakin, kejar dia. Dan jujur lah pada hatimu dan juga pada dirinya. Tapi ingat untuk melakukannya tanpa harus ada yang tersakiti. Tidak kamu, tidak juga dia." Mr. Bryan pun menyesap kopinya dan beranjak dari sofa.
"Ayah menunggu kau membawanya ke rumah." Mr. Bryan berlalu dan keluar dari kantor Nicholas. Nicholas hanya menunduk dan terdiam. Daddynya memang sangat peka!
***
"Kau menunggu lama?" Malam itu, Elsa memang akan bertemu dengan Mario. Selama lima hari mengurung diri di penthouse, Elsa merasa seperti orang bodoh dan pengecut. Maka ia memberanikan diri menghubungi Mario lebih dulu.
"Tidak, aku baru saja tiba. Duduklah, Elsa." Mario tersenyum seperti hari-hari kemarin dia tersenyum. Cerah dan percaya diri. "Kau mau pesan apa?" Mario memberikan menu ke Elsa.
Elsa menolak. "Aku pesan es jeruk saja." Ujarnya dengan senyum kikuk.
Raut muka Mario berubah. "Kau punya maag. Kau sudah makan malam?" Elsa mengangguk.
"Baiklah kalau begitu, aku tak akan memaksa." Mario memanggil waitress untuk memesan makanan. "Saya pesan Fettucini Seafood dan Crabstick Ham satu, untuk minumnya es jeruk dan Air mineral saja." Mario menyerahkan menu ke waitress tersebut.
"Kau makan dengan porsi yang besar." Elsa berbisik ke arah Mario.
"Tidak, satunya untuk kau. Kau tidak boleh menolak." Mario tersenyum jenaka.
Elsa mendengus sambil melipat dada. "Kau tidak berubah. Tetap pemaksa."
Mario menatap Elsa lama. Ada perasaan rindu yang membuncah di hatinya. Ingin sekali dia merengkuh gadis itu ke dekapannya. "Elsa.."
Elsa menoleh. "Ya?"
"Maafkan aku."
Elsa menelan ludah, ia bingung bagaimana harus bersikap. Ia tahu cepat atau lambat Mario akan membahasnya. "Mario, aku.. walaupun aku sudah mendengarnya dari Nich, entah mengapa aku masih kecewa. Kecewa dengan kenyataan bahwa kau merasa bertanggung jawab menjaga Catherin. Aku egois bukan." Elsa lebih berkata pada dirinya sendiri.
"Elsa.." Mario menggemgam tangan Elsa yang berada di atas meja, refleks Elsa menarik tangannya.
"Maaf." Ujar mereka berbarengan.
"Elsa.. kamu tidak egois. Itu perasaan wajar. Manusiawi. Aku tidak berharap banyak kau akan memaafkan aku sekarang. Kau sudah mau menemuiku saja aku sangat bersyukur." Mario menatap Elsa lama. Elsa semakin kikuk ditatap seintens itu.
"Dan maaf untuk kejadian saat kita kemah. Aku tidak bermaksud."
Elsa mengibaskan tangannya. "Tidak apa-apa, itu bukan salahmu. Tidak perlu kita bahas lagi."
Pesenan mereka pun datang. Elsa sangat tergiur dengan fettucini seafood yang menyajikan lobster besar sekaligus udang yang tertata apik.
Mario tertawa. "Elsa, kenapa kau harus berbohong padaku?"
"Berbohong bagaimana maksudmu?" Elsa tidak mengerti arah pembicaraan Mario.
"Soal sudah makan malam. Kau pasti belum makan. Aku tau dari wajahmu melihat pasta itu."
Elsa mendecak terlihat kesal. "Sebegitu kelihatannya, kah?" Mario hanya tertawa.
"Sudahlah berhenti tertawa. Ayo kita makan. Perutku sudah mulai memberontak." Elsa mencoba mencairkan suasana.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Embrace
RomansaPrivate acak. Follow dulu, kalau mau baca :D -------------------------------------------------------- "Ijinkan aku Elsa. Aku rasa aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi." Nicholas menarik Elsa lebih dekat dan mencium bibir gadis itu dengan lembu...