42. Klise

34 3 0
                                    

Nicholas tersenyum senang pagi ini. Ia mampir ke kantin untuk membeli beberapa roti karena Elsa meminta tolong. Beberapa perawat serta penunggu pasien sengaja tersenyum ke arahnya karena seperti biasa, Nicholas selalu tampil menawan dan tampan entah dimana dan dalam situasi apapun. Nicholas tak mempedulikan tatapan-tatatapan memuja itu. Ia terlalu senang. Kemarin malam adalah hal yang ia nantikan.

"Maukah kau tidur di sampingku?"

Nicholas melepas pelukannya dan menatap Elsa. Ia lalu tersenyum dan mengangguk. Elsa menggeser posisinya untuk memberi ruang untuk Nicholas. Ranjang ruang VVIP memang lebih lebar disbanding dengan kamar biasa. Nicholas membenarkan posisi bantal dan merentangkan tangan kanannya. "Tidurlah di lenganku." Elsa mengiyakan. Nicholas lantas memeluk Elsa dengan protektif.

"Terima kasih, Nicholas." Elsa kembali bersuara. Gerakan mengelus kepala Elsa terhenti setelah Nicholas mendengar suara kecil gadis itu.

"Untuk?"

"Karena sudah menyangiku.." jeda beberapa saat, "sebagai wanita."

Nicholas semakin mempererat pelukannya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Baginya tidak ada kalimat yang mampu menjelaskan seberapa sayangnya ia kepada Elsa.

"Aku senang..." Elsa kembali bersuara. Kali ini Nicholas melepas pelukannya dan melihat mata Elsa. "Aku senang, kau suka padaku." Elsa melanjutkan.

Nicholas masih terdiam. Ia ingin mendengar seluruh kejujuran gadis itu. Elsa melihat kedua mata Nicholas. Ia tahu, Nicholas menunggunya untuk berkata lain. Ia gugup, tidak pernah ia merasa seperti ini, tatapan tajam Nicholas seakan menguncinya untuk tetap melihat pria itu. Diraihnya pipi Nicholas. Hangat.

Sepersekian detik tidak terjadi apa-apa. Sampai akhirnya Elsa mencondongkan tubuhnya, dan mencium bibir Nicholas. Pelan dan lembut. tak ada keraguan.

"Aku juga sayang kamu." Pada akhirnya 1 kalimat balasan itu meluncur dari bibir mungil Elsa.

Kali ini bibir Nicholas benar-benar tertarik dan melengkung ke atas. Ia tak pernah sebahagia ini. Dulu, saat ia pertama kali mendapat juara 1 di sekolah dasar dan ayahnya memberikannya sebuah sepeda gunung merk terkenal dan limited edition, Nicholas bahagia namun tak sebahagia saat ini. Saat dimana gadis yang disukainya sejak menginjak Princeton membalas perasaannya.

"Tapi.." Elsa kembali bersuara. Nicholas menatap gadis itu lagi. "Aku takut."

"Takut kenapa?"

"Kalau.. kalau hubungan ini tidak berjalan dengan baik, persahabatan kita tak akan utuh lagi.." Ucap gadis itu lirih. Nicholas kembali memeluk Elsa. Dagunya berada dipuncak kepala gadis itu.

"Kau tahu?"

"Apa, Nich?"

"Aku bahkan tak berani berpikir untuk meninggalkanmu."

***

Alvian membuka pintu ruangan Elsa. Elsa tersenyum dan menutup majalah yang Issabele bawakan kemarin siang. "Brother, masuklah." Alvian masuk dan membuka pintu kamar lebih lebar lagi. Dua orang asing masuk ke ruangan itu.

"Nicholas mana?"

"Dia sedang ke kantin." Elsa beralih meliaht dua pria asing tadi. "Mereka siapa?" Tanya Elsa dengan tatapan bertanya.

"Perkenalkan, saya Paul Korzafy." Elsa menyambut uluran tangan Paul, dan menatap kartu tanda pengenal yang digunakan lelaki usia 30an itu.

"Detektif?" Tatapan elsa jatuh kearah Alvian seolah meminta penjelasan. "Teman Alvian, ya?"

EmbraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang