IPA #3

113K 5K 78
                                    

SEKARANG aku telah duduk di meja bar. Aku pergi ke kelab bersama pacarku, Ronald. Laki-laki atheis keturunan Amerika itu memang sangat mengerti diriku. Dia selalu ada disaat aku susah. Seperti contoh disaat aku baru saja bertengkar dengan Ayah karena aku mendengar rencana Ayah bersama Sarah untuk menjodohkanku dengan Adnan, Ronald selalu bersedia menemaniku ke kelab untuk sekedar meminum alkohol. Itu bisa meredakan kesedihanku. Sekarang pun, walau Ronald tidak menemaniku disaat Ayah meninggal, malamnya dia menjemputku untuk pergi ke kelab lagi. Dia tahu betapa sedihnya aku kehilangan satu-satunya orang tua yang aku miliki.

"Jadi gimana dengan calon suamimu itu?" Tanya Ronald.

"Calon suami, Haha! Jangan gila, Ron! Aku ini masih sekolah! Mana ada menikah." Kepalaku terasa oleng sekarang. Sudah dua gelas alkohol yang kuminum. Efeknya baru terasa sekarang.

"Jadi dia tampan?"

Aku menatap Ronald.

"Seriously? Kamu nanya aku kaya gitu? Iya dia tampan, tampan banget, sampe aku mau muntah liat dia bakalan ada setiap hari di rumah."

Ronald tertawa. Dia menyesap birnya sedikit.

"Mau bersenang-senang dulu sebelum UN besok?" Tanya Ronald menggoda. Ada semburat merah di kedua pipiku. Aku tahu ke arah mana Ronald berbicara.

"Ah, Ronald! Aku nggak mau ngelakuin itu! Aku maunya kalau kita udah nikah."

"Ayolah! Lebih seru jika dilakukan saat SMA. Menambah sensasi!"

"Ronald!"

Ronald berdiri dan mendekat ke arahku di meja bar. Aku menjauhkan tubuhku darinya. Sekarang aku sedang terpengaruh alkohol. Bisa-bisa sekali sentuh saja, akan fatal untuk kedepannya.

"Ronald, jangan gila!" Ucapku pada Ronald. Namun Ronald masih saja kekeuh dengan seringaian menjijikan di wajahnya.

 Namun Ronald masih saja kekeuh dengan seringaian menjijikan di wajahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ronald terus mendekat ke arahku hingga aku terpepet ke meja bar. Para bartender hanya bersikap biasa saja karena Ronald memang sudah terkenal disini. Tidak mungkin ada yang bisa menolongku. Sampai akhirnya kuletakkan kedua tangan di depan dadaku dan memejam kan mata, deru napas Ronald menyapu wajahku. Sebelum,

BUKK!

Suara pukulan yang kencang itu mengenai tepat di pipi Ronald hingga darah segar keluar dari sudut bibirnya. Aku terkesiap dan membuka mata. Para bartender yang tadinya biasa saja sekarang menghampiri Ronald dan membantunya berdiri. Kami menjadi perhatian para pasang mata disini. Tadinya dengan musik berdetum, sekarang musik itu mati. Dan aku? Hanya mematung di tempatku berada sambil menuntup mulut terbukaku dengan tangan.

"Adnan?"

Iya, Adnan. Dengan masih berdiri dengan tangan terkepal di kedua sisi samping tubuhnya. Menatap Ronald tajam.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang