IPA #32

79.9K 3.4K 159
                                    

"Tidak ada kata terlambat jika ingin memperbaiki diri."

--Adnan Mohammed--

Selamat membaca🤓

💊💊💊

"HAI, Lisa!" Itu suara Adnan.

Adnan berdiri mengikuti wanita bernama Lisa itu. Cantik sih. Kukira umurnya 25-27 tahun. Dia seorang suster karena pakaiannya yang seperti suster juga menurutku.

Mereka bercakap-cakap menggunakan Bahasa Jerman dan aku hanya diam saja karena tidak mengerti apa-apa. Sampai akhirnya Suster Lisa itu menatapku dan berbicara kepada Adnan; "siapa dia?"

Lalu, Adnan menyebutkan namaku dan berkata Bahasa Jerman lagi.

Suster Lisa tersenyum kepadaku dan berkata menggunakan Bahasa Indonesia. "Halo, Aalia! Senang bertemu denganmu. Namaku Lisa dan dulunya aku asisten Dokter Adnan."

"Kamu bisa bahasa indonesia?"

"Tentu. Aku pernah kesana dan tinggal sementara disana."

Aku hanya mengangguk paham. Aku kira aku saja orang paling bodoh yang tidak bisa bercakap apa-apa kepada siapapun kecuali si Tuan Datar dan Bibinya. Oh iya, jangan lupakan Leo.

Setelah itu hening beberapa menit. Sampai Adnan mengingatkan sesuatu.

"Aal, sebaiknya kita ke kantin rumah sakit. Sebentar lagi Maghrib dan kita harus berbuka puasa," ucap Adnan yang aku yakin dia sedang berusaha berpamit pada Suster Lisa dengan cara yang sangat, sangat halus.

Aku menjawab dengan anggukan.

"Maaf tidak bisa mengobrol lebih banyak denganmu," ujar Adnan pada Suster Lisa.

"Iya, tak apa! Semoga ibadah kalian diterima."

Kami beranjak pergi untuk mencari kantin. Aku menyangka tadi Adnan membiarkanku berjalan di sampingnya dan kami terlihat seperti sepasang kekasih, tapi malah sebaliknya. Dia berjalan di depan dengan langkah yang sedang. Mengapa pria itu terlalu menyebalkan bahkan disaat aku--mungkin--mulai menyukainya?

Kalian jangan bernapas lega dulu seperti itu. Kalau aku segera menikah dengan Adnan, cerita ini akan cepat tamat dan aku akan terlupakan oleh kalian. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Nama "Aalia" harus ada dibenak kalian!

💊💊💊

Makanan terasa begitu nikmat saat aku menyantap hamburger dan segelas jus alpukat disini. Apalagi di hadapanku Adnan. Sudah dapat makanan pengisi perut, sekarang ada benda hidup pencuci mata pula. Aku akui dia tampan, sangat tampan.

Astaga, dadaku. Mengapa dia sangat cepat mengembang dan mengempis? Getaran pompa jantungku yang bekerja pun sangat terasa walau aku tidak menyentuhnya. Itu selalu terjadi jika aku berada di dekat Adnan.

Kalian tahu? Pada Ronald ataupun mantan-mantanku sebelumnya, aku belum pernah merasakan yang seperti ini. Aku tidak pernah merasakan detak jantungku yang seakan berbisik; "kamu mencintainya, kamu mencintainya" seperti saat ini.

Apa benar kalau aku mencintainya? Aku mencintai Adnan yang bahkan sempat aku benci di saat pertama kali dia datang ke rumah kami? Astaga, Aal! Apa yang kau pikirkan?

Tek tek!

"Aal? Kamu nggak kenapa-napa kan?" tanya Adnan sembari menjetikkan ibu jarinya dengan jari tengahnya.

"Hah?" Aku tersadar. "Nggak apa-apa kok. Emang gue kenapa?"

"Daritadi kamu tersenyum, memperhatikan wajah saya. Sekarang burgermu hanya tertempel di mulut saja. Bahkan sausnya ikut menghias pipimu. Ini tissue." Adnan memberiku sekotak tissue dan membiarkanku mengelap noda di wajahku.

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang