IPA #14

90.5K 3.6K 91
                                    

"Mungkin aku bukan seorang psikolog yang tau ke arah mana setiap gerak-gerikmu menuju."

--Aalia Banan--

Selamat membaca🤓

💊💊💊

MIA berjalan gontai ke arahku, lalu dia berlari dan memelukku. Menangis sesegukkan. Aku yang masih menahan sakit di kakiku hanya bisa terdiam, merespon aksi sahabatku yang secara tiba-tiba ini.

"Lo kenapa?" Tanyaku. Mia makin memperkeras suara tangisannya.

"Hiks... Hiks... Huwah!" Ujarnya. Sarah dan Bi Ayu pun hanya bisa memperhatikan kami. Sedangkan Adnan menuju kamar Pinkan. Entah sedang apa.

"Lo kenapa sih? Cerita aja apa!" Ucapku mulai kesal.

"Bi, tolong bawakan air putih." Ujar Sarah pada Bi Ayu. Lalu Sarah mendekati kami dan duduk di samping Mia. Bi Ayu pun melesat ke dapur. "Kamu kenapa?" Tanya Sarah kepada Mia.

Sedangkan Mia, masih tetap mempererat pelukannya padaku. Suara tangisannya pun makin menjadi.

Beberapa menit, kami menunggu Mia untuk membuka mulut, tapi tetap saja hanya suara tangis yang keluar. Bi Ayu pun kembali dan membawakan segelas air putih, lalu Sarah mengambilnya.

"Ini, diminum dulu." Ucap Sarah. Mia pun menurut walau matanya mulai sembab. Dia meminum air putih itu dan meneguknya hingga setengah gelas. Lalu kembali menangis lagi dan memelukku.

"Ih, lo sebenernya kenapa sih? Nggak jelas banget dateng-dateng langsung kaya gini." Sindirku.

Mia mendekatkan mukutnya ke telingaku dan berbisik untuk berbicara empat mata. Aku pun makin penasaran, apa yang sedang sahabatku ini alami?

Akhirnya kami memutuskan untuk berbicara di kamarku. Namun yang kami bingungkan adalah, aku belum bisa berjalan dengan kedua kaki di perban seperti ini.

Sarah pun memanggil Adnan di kamar Pinkan dan menyuruh dia menggendongku. Otomatis aku menolak.

"Emang lo nggak ada kursi roda?" Tanyaku sarkas. "Nggak ah, Ma! Aalia nggak kau digendong Adnan."

"Jangan buang-buang waktu! Saya masih harus membantu Pinkan mengerjakan PR nya."

"Ah, tai lo! Lo yang buat kaki gue begini!"

"Aalia, jangan bicara seperti itu." Nasihat Sarah lembut. Sedangkan Bi Ayu sudah beranjak dari tempat dan pergi ke dapur. Mia pun hanya bisa diam dan menunduk. "Yasudah, Adnan, ambil kursi roda di atas lemari Mas Bayu ya." Perintah Sarah pelan.

Adnan hanya menurut dan berjalan menuju kamar Sarah. Aku kembali menatap Mia yang masih menunduk dan aku juga bisa melihat kedua tangannya terkepal kencang meremas celana ripped jeans-nya.

Aku pun hanya menyentuh bahunya lembut. Dia tersentak sedikit lalu menatapku dan menangis lagi.

Tak beberapa lama, akhirnya Adnan kembali dengan kursi roda yang terlipat di tangannya dan memasangnya untukku.

"Tapi percuma saja, kamar Aalia kan di lantai dua. Bagaimana dia bisa naik ke atas?" Tanya Sarah bingung.

Aku pun terdiam. Sambil dibantu Sarah dan Adnan, akhirnya aku berhasil duduk di kursi roda milik mendiang ayahku ini.

"Yasudah, pakai kamar saya aja." Ujar Adnan.

"Terus lo?"

"Malam ini saya mau ke apartemen."

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang