IPA #29

78.7K 3.2K 48
                                    

"Aku mencintainya, tapi aku belum mau mengungkapkannya. Biarlah waktu yang memberitahunya."

--Aalia Banan--

Selamat membaca🤓

💊💊💊

MATAKU terbuka dan sekelilingku, ruangan masih terlihat asing walau sebelumnya aku pernah melepas letih di sini.

Wajah pertama yang aku lihat saat aku bangun adalah wajah Bibi Hannah. Dia tersenyum manis ke arahku.

"Halo, Manis!" ucapnya menggunakan Bahasa Indonesia. Ya, bahasa yang kumengerti. Aku hanya bisa mengerutkan dahi.

"Jangan pasang wajah terkejut itu seperti, Aalia! Aku bisa memang bahasa Indonesia," jelasnya kembali walau tata bahasanya masih ada yang terbalik. Aku lagi-lagi hanya tersenyum.

"Adnan bilang belum kamu makan apa-apa sejak tadi ... Hmm ... morgendämmerung," dia mengerutkan dahi, "maksudku saat makan sebelum sholat subuh."

"Sahur?" tambahku.

"Iya itu, mungkin?" Bibi Hannah tertawa kecil. "Sekarang sudah pukul sembilan malam dan kamu telat tiga jam untuk berbuka, Aal. Aku bawakan kamu Bratwurst ditambah Kartoffelsalat. Oh iya, dan kurma untukmu."

Bibi Hannah menyodorkan satu buat piring yang berisi sosis. Sosis ini bentuknya sama dengan yang sering kumakan di Indonesia, namun teksturnya lebih kasar, lalu ditambah bubur seperti salad sayur yang ketika kurasakan mengandung kentang sebagai bahan utamanya. Ini sebagai pengganti nasi dan kujamin rasanya sangat enak sekali. Apalagi perutku memang keroncongan dan seharian lebih aku belum makan.

"Adnan bilang kamu kecapekan dan kurang makan. Maka dari itu Bibimu ini memasakkan makanan ini untukmu. Maaf sekali jika lidahmu tidak terbiasa dengan makanan ini. Semoga menyukainya kamu."

Aku terkekeh mendengar bahasa Bibi Hannah. Aku menelan makanan yang sebenarnya tidak perlu dikunyah itu.

"'Semoga kamu menyukainya', Bibi," koreksiku.

Bibi Hannah ikut terkekeh, "Maafkan aku yang sudah lama tidak berbahasa Indonesia, Aal. Aku sudah lupa bagaimana pengucapan caranya."

"Baik, Bibi! Omong-omong Aalia bilangin, Bi, makanan ini enak banget. Aal kaya makan di restoran bintang lima."

"Oh, ya?" Bibi Hannah bersemu. "Jika kamu mau, kamu bisa mengambil yang lebih banyak di dapur. Kebetulan aku masak banyak tadi siang. Apfelstrudel sebagai makanan penutupnya? Kebetulan kami menampung banyak apel di lemari es, jadi aku tidak kesulitan membuat kue itu."

"Wah, tenang, Bibi! Aal pasti bakal habisin setengah atau kalau bisa semua. Supaya semua orang yang lapar nggak dapat jatah sahur."

Lagi-lagi Bibi Hannah terkekeh.

"Aal," panggil Bibi Hannah setelah hening beberapa detik.

"Iya, Bibi?" responku seraya mengelap sudut bibirku yang terkena salad itu dan menatap Bibi Hannah menunggu.

"Apa kamu benar-benar tidak mencintai Adnan?"

"Uhuk!" Aku terbatuk. Tiba-tiba saja salad itu bukan meluncur ke kerongkonganku melainkan ke tenggorokan.

Bibi Hannah buru-buru mengambil air mineral di atas nakas dan memberikannya padaku. Jeda beberapa menit aku hanya terdiam. Ingatanku kembali terputar ketika dimana aku menarik tanganku begitu saja di depan Bibi Hannah, Ayahnya Adnan, dan Adnan.

Aku terdiam. Air mataku tiba-tiba saja meluncur. Melihat itu, Bibi Hannah hanya mengusap pahaku lembut.

"Aku tau ini memaksamu. Aku tau perjodohan oleh ayahmu itu membuat dirimu tertekan. Tapi berilah Adnan ...."

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang