IPA #44

67.1K 2.9K 93
                                    

"Mencintai itu tidak sembarangan. Butuh perjuangan dan pengorbanan sebagai bayaran. Sama seperti ingin memiliki berlian, melalui rintangan, harapan, dan yang lebih menyakitkan lagi jika perjuangan itu sia-sia. Tapi tenang saja, jika sudah jodoh, tanpa kita minta pun pasti akan datang sendiri."

--Queen Garritsen--

Selamat Membaca 🤓

💊💊💊

PRANGG!!

"Argh!" teriakku terkejut seraya melindungi wajahku dengan kedua lenganku, menghindari pecahan kaca yang dihantam sesuatu di jendela besar di sampingku.

Alarm rumah sakit berbunyi dan aku hanya diam menatap remukkan kertas putih bertuliskan sesuatu. Entah isinya apa hingga dapat memecahkan kaca jendela yang tebal teknologi khas Jerman ini.

Aku syok. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya duduk menatap kosong ke arah benda itu. Beberapa serpihan kaca berhasil menggores wajahku. Untung saja tidak ada yang masuk ke dalam mata.

Pintu kamarku terbuka namun aku tidak bisa menengok karena tidak menyadari dan pikiranku pun tidak ada apa-apanya saat ini. Aku tidak menggerakkan anggota tubuhku sama sekali. Mungkin hanya bernapas dan berkedip.

Ketika seseorang memegang pundakku untuk menyadarkanku, akhirnya aku menengok namun kepalaku sudah cukup pusing. Wajah yang kulihat--kalian ingin tahu?

Wajah bidadara calon penghuni Surga, Adnan.

Lalu semuanya gelap.

💊💊💊

Pria itu terbangun karena mendengar suara bising di luar. Banyak orang berlarian dan itu membuatnya penasaran. Rasa pusing dengan rasa penasarannya ternyata lebih besar rasa penasarannya hingga dia mengabaikan dirinya yang sedang tidak sehat.

Lisa--yang tertidur di sofa di ruangan yang sama dengan dokter tampan nan sholeh itu--ikut terbangun saat sebuah logam jatuh akibat Adnan yang tidak sengaja menyenggolnya di atas nakas sebelah tempat tidurnya.

"Adnan, kau mau kemana?" tanya Lisa sigap.

"Aku ingin melihat situasi disana. Alarm rumah sakit berbunyi itu tandanya ada sesuatu."

Lisa terdiam, mencoba mendengar keadaan di luar.

"Ah, iya benar," ucapnya. "Tapi jangan paksakan jika kau tidak kuat."

Adnan tersenyum kepada mantan kekasihnya yang satu profesi dengannya itj. "Aku baik-baik saja. Terimakasih sudah menjaga dan merawatku malam ini."

Setelah itu, Adnan keluar dan Lisa pun tidak bisa mencegah.

Hanya ucapan "terimakasih", Adnan? Pikirnya sedih.

Setetes air mata keluar melalui pipinya saat pintu yang tadi terbuka menutup sendiri dan Adnan sudah tidak seruangan lagi dengannya. Dia kembali duduknya dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Mengapa masalahku tidak pernah berkurang! Hanya bertambah, bertambah, dan terus bertambah! Kau tidak adil, Tuhan!"

Di sisi lain, Adnan berjalan cepat menuju arah para suster berlari untuk mencari tahu apa yang menyebabkan alarm rumah sakit mereka berbunyi. Sebagian lainnya menenangkan para pasien serta keluarga yang menemani untuk tenang dan jangan panik. Sudah tugas mereka untuk melakukan itu.

"Suster, apa yang sedang terjadi?" tanya Adnan kepada salah satu suster yang hendak berlari usai berbicara kepada salah satu keluarga pasien.

"Di kamar 102, Dokter, ada yang tidak beres disana. Saya pun kurang tahu apa yang terjadi, tugas saya hanya menenangkan para pasien," jawab suster itu terburu-buru, lalu meninggalkan Adnan yang masih kebingungan.

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang