IPA #10

99.8K 4.1K 124
                                    

"Bernostalgia itu menyenangkan. Tapi kalau terlalu larut, akan membuat sedih juga."

--Sarah Aisha--

Selamat Membaca🤓

💊💊💊


AKU merenung. Menyandarkan kepala di kepala kasur. Aku memeluk kakiku yang kulipat hingga ke dada. Aku menggigit jariku dengan tangan yang sebelah. Tubuhku gemetar dan keringat mulai membanjiri diriku walau suhu AC kuyakini sudah disetel paling rendah. Aku pun hanya memakai tank top hitam dengan celana pendek sepaha. Sangat jauh malah dengan lutut.

Pintu terbuka dan aku tersentak hebat. Aku berteriak dan Pria itu mulai menenangkanku. Aku menghindar akan sentuhannya. Entah ada apa di dalam diriku, tapi aku merasa kulitku panas jika ada yang berani menyentuhnya kecuali diriku.

"Aalia jangan terlalu takut. Tenangkan dirimu!" Itu suara Adnan. Aku masih mengingatnya. Ternyata pria itu memang Adnan. Tapi aku bingung, ada seorang Pria lagi di belakangnya. Aku menatap ke arahnya tajam. Hampir saja bola mataku copot dari sana.

"Well, calm down, Girl!" Ucap si Pria yang berada di belakang Adnan. "Kenapa kamu tidak memberikan dia obat penenang saja, Nan?" Lanjutnya bertanya.

"Obat penenang tidak akan berhasil, Dude. Akan memberikan efek samping yang lain pada tubuhnya." Jelas Adnan khawatir.

Adnan pun menatapku. Aku masih tidak bisa mengendalikan diriku sendiri hingga air mata keluar.

"Aal, tolong kamu tarik napas dalam-dalam," Adnan mengangkat kedua tangannya hingga telapaknya menghadap ke arahku. Mencoba membuatku tenang.

Aku pun mencoba menarik napasku. Tapi tenggorokkanku malah berasa tercekat. Aku pun menggelengkan kepala dan menangis kembali. Tubuhku masih saja gemetaran.

"Istighfar, Aal!" Adnan mulai menenangkan dirinya yang kuyakini juga ikut panik. Namun dia masih bisa menutupi dengan wajah datarnya.

"AKH! GUE GAK BISA!" Teriakku akhirnya.

"Ikuti saya, Aal!"

Pintu lagi-lagi terbuka lebar. Memperlihatkan Sarah yang panik setengah mati.

"Aalia!" Ujar Sarah panik. Dia menghampiriku dan menatapku dalam-dalam.

"Tenang, Sar. Aalia nggak apa-apa. Dia hanya mengalami pasca trauma akibat pelecehan yang dialaminya semalam. Dia akan kembali membaik." Jelas Pria yang di belakang Adnan.

"Baik, Leo."

"Astaghfirullahal'adzmin, Aal." Ujar Adnan membimbingku.

💊💊💊

Aku duduk di meja makan dan menatap Adnan tengah bermain menggoda Pinkan. Pinkan memeletkan lidah dan meledek Adnan lalu Adnan menggelitikki perut Pinkan di sofa ruang TV yang tak jauh dari tempatku sekarang. Terkadang aku tersenyum sendiri melihat mereka. Adnan dan Pinkan tertawa riang dengan Pinkan yang sedikit teriak karena geli. Adnan yang ini, berbeda dengan Adnan si muka datar itu. Dia lebih tampan jika tertawa dan memperlihatkan gigi-giginya yang putih bersih.

Tapi karena hitunganku yang semalam gagal, tidak ada yang masuk kembali ke kamarku. Membuatku masih ragu. Ya tuhan, apa Adnan itu benar-benar jodohku? Tidak. Aku tidak akan tertipu. Tampan dan alim saja di luar, nanti di dalam pasti ada fifthy shades of Adnan. Aku bergidik membayangkan itu.

Tiba-tiba tangan yang lembut nan halus menyentuh bahu telanjangku.

"Apa kau tidak kedinginan, Aal dengan pakaian seperti itu?" Tanya Sarah.

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang