IPA #38

68.4K 2.9K 60
                                    

"Hidup tanpa cobaan sama saja seperti kopi tanpa rasa pahit."

--Queen Garritsen--

Semalam membaca🤓

💊💊💊

TUBUH itu masih kaku. Belum ada tanda-tanda matanya akan terbuka. Saya masih duduk di sampingnya, mendengarkan detakkan mesin EKG yang terus bernyanyi putus-putus.

Aalia.

Gadis itu masih saja diam. Tidak berbicara, tidak marah-marah, ataupun tersipu setiap kali saya ajak mengobrol.

Jangan tanyakan saya; apakah saya mencintainya atau tidak. Jawabannya, belum. Mungkin kalian bingung, mengapa saya belum mencintai Aalia tapi saya bersikeras untuk menikahinya? Jawabannya adalah amanah. Karena iman bukanlah sekedar ucapan, tapi amanah dan tanggung jawab. Walau saya harus kehilangan cinta saya, bukan berarti saya kehilangan cinta dari Tuhan saya. Jika Tuhan saya berkehendak lain, apa saya harus menjadi hambanya yang durhaka?

Mungkin, saya belum sempurna. Tapi saya yakin, saya bisa menuntut Aalia, membimbingnya menuju surga, dan menghalalkannya tanpa paksaan. Menikah tanpa cinta itu memang berat, tapi lebih berat lagi jika terpaksa, apalagi kedua pasangan itu tidak bisa mempertahankan hubungannya satu sama lain. Hancur sudah keduanya.

Hati saya seketika hangat, mengingat ucapan Aalia di detik-detik sebelum kesadarannya hilang.

"Adnan, gue cinta lo!"

Walau terdengar kasar, kata-kata itu masih saja terngiang di telinga saya. Kata-kata yang menurut saya ..., sangat sakral dan seketika membuat hati saya bahagia walaupun sedih juga karena melihat orang yang mengatakan itu akhirnya terdiam kaku di atas brangkar dengan banyak luka dan alat-alat di tubuhnya.

Aalia.

Satu nama yang terkadang ikut serta dalam do'a di waktu tengah malam dan lima waktu lainnya, di setiap sholat. Tak lupa saya melafalkan nama itu kepada Sang Maha Kuasa.

Dan pertanyaannya sekarang adalah; bagaimana cara saya menghalalkannya dan membimbingnya hingga ke Surga nanti?

Tok tok!

Suara ketukkan di pintu menyentak lamunan saya. Saya menengok ke arah belakang dimana sumber bunyi berasal dan menangkap sesosok Lisa di sana. Dia tersenyum pada saya, maka saya membalas. Senyuman Lisa berbeda dengan senyuman ceria yang biasanya ia tunjukkan pada saya dulu. Ini benar-benar sangat berbeda.

"Halo, Dokter Adnan!" sapanya. Saya hanya mengangguk seraya tersenyum membalas. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," lanjutnya.

"Silakan ...," jawabku ragu.

Dia berjalan ke arah saya seraya memegangi sebuah amplop putih berlogo rumah sakit ini dengan tangannya di depan. Suara tongkat sepatu hak yang beradu dengan lantai membuat ruangan yang semula sunyi, menjadi sedikit berirama dibarengi dengan mesin EKG yang terus berdetak.

Setibanya di hadapan saya, dia mengambil kursi yang berada di sudut ruangan dan memindahkannya kembali ke hadapan saya, jaraknya sekitar satu meter.

Tiba-tiba saja, Lisa menangis. Menangis begitu sedih yang mana membuatnya harus menutupi hidungnya menggunakan punggung telapak tangannya lalu menunduk. Tubuhnya bergetar karena ingin mengeluarkan tangisannya.

"Li-lisa? Ada apa?" tanya saya sedikit panik.

Lisa masih terus menangis. Saya menjadi tidak tega. Tapi saya tidak tahu harus melakukan apa. Maka saya menyentuh sebelah pundaknya.

"Ad-Adnan ...," Lisa makin menangis lantang. Dia tidak bisa menahannya lagi entah mengapa.

"Kenapa kau menangis, Lisa? Dan tolong pelankan suaramu."

Saya masih berusaha sabar. Membiarkan dia menenangkan diri terlebih dahulu sebelum menceritakan apa yang berada di dalam benaknya.

Lima menit berlalu dan tangisan Lisa mulai mereda. Dia mulai sesegukkan dan mencari-cari kain atau apapun yang bisa menghapus jejak air matanya.

"Adnan, darahmu positif terkena penyakit thalassemia. Kau tidak bisa mendonorkan darah pada Aalia. Kadar hemoglobinmu kurang dari kriteria."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Lisa menangis kembali. Kali ini lebih dipendam karena dia menunduk.

Saya ..., hanya bisa terdiam. Kenyataan yang paling akurat dan saya pun tidak bisa membangkang lagi. Ada rasa tertusuk di dada saya karena kenyataan lainnya saya tidak bisa mendonorkan darah saya kepada Aalia. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya jika Aalia tidak segera mendapatkan pendonornya yang cocok, saya tidak bisa membayangkan.

Saya berdiri. Menarik napas sedalam-dalamnya. Mencoba membuat diri saya tenang seperti yang selama ini selalu saya lakukan. Membuangnya perlahan lalu melangkahkan kaki menuju pintu.

"Adnan, kau ingin kemana?" tanya Lisa yang masih sesegukkan.

"Bertanya kepada sang pencipta, apa yang harus aku lakukan setelah ini," jawab saya dingin dan berusaha mengendalikan ketenangan dalam diri saya walau gejolak di dalam dada sudah berkoar ingin dilampiaskan.

xxIPAxx

HAI!

SORRY FOR VERY VERY VERY LATE UPDATE!
You know? I'm too busy with my school life and another my life problems. So please, understand about me, Guys!!

Sedih aku bacain komen kalian yang bilang "cerita ini bagus", "lanjut dong", "kangen Adnan", "kangen Aalia", tapi nyatanya aku nggak bisa update😭😭.

Maaf ya, udah lama update, updatenya dikit pula😭.

Sumpah deh, aku kena writer's block.

Tadinya aku mau buat Adnan kena HIV karena dia kan dokter, kali aja pas nanganin pasiennya dia nggak tau pasiennya punya penyakit itu dan akhirnya ketularan gara2 kena luka Adnan di masa lalu. Tapi aku nggak sejahat itu guys.

Di awal juga aku pengennya si Adnan kena thalassemia, jadinya yaudah thalassemia aja:)

Yaudah deh, curcolnya gitu aja.

Itu ya aku bawain AdLia buat kalian. Yang kangen, tuh kalian bisa melampiaskan rasa kangen kalian😂

Jangan lupa follow ig;

@khansaazahra25
@queengarritsen
@adnanborowski
@aaliabanan
@ronaldpetersonn
@clarabrina
@fellyazuraaa

Adios!

Depok, 9 Agustus 2018

Khansa AP

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang