IPA #31

82.4K 3.2K 106
                                    

"Berkhayal itu memang indah, namun tidak nyata."

--Aalia Banan--

Selamat Membaca🤓

💊💊💊

AKU mengintip dari balik pintu belakang rumah sakit. Halaman rumah sakit itu sangat ramai, dipenuhi banyak orang-orang menemani keluarganya yang tidak dalam keadaan sehat. Bosan terus-terusan di ruang rawat, Clara mengajak Adnan untuk berjalan-jalan di sekitaran rumah sakit. Tidak hanya Adnan, Leo juga ada bersama mereka.

Wajahku, kupasang cemberut saat melihat Adnan begitu dekat--tidak, sangat dekat--dengan gadis itu. Entah itu tengah menyuapinya makan, terkadang mengajaknya tertawa bersama, sedangkan Leo hanya bisa tersenyum dan ikut tertawa bersama mereka. Aku, aku dicampakkan sendiri disini, menatap keramaian yang ada.

Namun tiba-tiba aku membeku saat mata Adnan tidak sengaja menangkapku tengah memperhatikan mereka. Aku memilih untuk berbalik badan dan ingin meninggalkan mereka.

"AALIA!" panggil Adnan dan aku hanya berpura-pura tidak mendengar.

Adnan menyerahkan semangkuk bubur rumah sakit kepada Leo dan berjalan menghampiriku. Dia memanggil-manggil namaku, tapi aku hanya berjalan menghindar entah kemana dan tetap pura-pura tidak mendengar. Dalam hati, aku merutukki kebodohanku sendiri; mengapa aku terlalu bodoh? Tidak, sangat bodoh!

"Aalia!" panggilnya lagi dan akhirnya aku berhenti lalu berbalik ke arahnya.

"Apa?"

"Hei, kamu kenapa?" tanyanya. Jarak kami hanya setengah meter dan aku menatapnya datar.

"Nggak apa-apa. Gue cuma bosen. Ini rumah sakit, bukan Dufan atau Disneyland. Bisa nggak sih lo nggak aja gue kesini kalau misalnya gue cuma jadi nyamuk doang dan lo enak-enakan mesra sama tuh cewek. Kan enak kalau gue di rumah aja, makanin kue Bibi Hannah yang ada apel-apelnya. Apa deh tuh gue lupa namanya."

Bukannya merespons atau yang lain, Adnan hanya terkekeh, "Apfelstrudel."

"Hah?" Aku menatapnya bingung.

"Nama kue kesukaanmu itu. Namanya Apfelstrudel."

"Oh."

Adnan masih saja terkekeh dan dia juga menatapku lucu.

"Apa sih?" tanyaku.

"Kamu marah?"

"Ya, jelas marah lah! Siapa sih yang nggak kesel kalau gue dicampakkin dan semua orang cuma mikirin cewek itu. Kalau disini ada Mia atau seseorang yang gue kenal dan lebih pentingnya bisa bahasa Indonesia walaupun kebalik-balik kaya Bibi Hannah, nggak apa-apa deh." Aku menatapnya sinis.

"Dan lo, lagi! Lo siapanya Clara sih, kalian kok bisa deket banget?"

"Clara adiknya Leo."

"Iya, gue tau! Gue kan nanyanya hubungan lo sama Clara, bukannya Leo sama Clara."

Adnan beranjak duduk di kursi yang tersandar di salah satu dinding rumah sakit. Aku mengikuti.

"Leo dan saya itu bersahabat, sudah 10 tahun ini saya dan Clara amat dekat karena Leo. Mungkin Clara sudah saya anggap sebagai adik saya sendiri."

"Adik, kok tapi perhatian banget," gumamku.

Adnan lagi-lagi terkekeh, "Kamu cemburu, Aal?"

Aku melebarkan mataku terkejut.

"Seriously? Gue? Cemburu? Sama lo? Hello, Martin Garrix or Justin Bieber more interesting than you, Sir."

Adnan lagi-lagi terkekeh, "Hei, Martin Garrix itu tidak pernah mandi dua hari sekali, apalagi Justin, mereka itu suka main perempuan."

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang