IPA #16

86.1K 3.7K 115
                                    

"Tertawa akan terasa lepas jika sebelumnya kamu menangis."

--QueenGarritsen--

Selamat membaca🤓

💊💊💊

"Mia," Panggilku pelan.

Mia menatapku dengan tersenyum walau jejak air mata masih terpajang di kedua pipinya. Dia sekarang duduk menyandar di kepala tempat tidur dengan bed cover yang menyelimuti hingga pinggang.

"Ini minumnya," Ujarku seraya memberikan cangkir yang masih kupegang ke arah Mia.

Mia terlihat sudah lebih baik karena dia tersenyum kepadaku. Dia mengangguk dan berucap, "Terimakasih!"

"Urwell." Jawabku singkat tapi hangat.

"Makasih ya, Aal. Lo udah mau--hiks--bantuin gue." Ucap Mia lagi dengan sesegukkan.

Aku hanya tersenyum. Mengambil posisi di sampingnya, mengambil ponselku yang masih tergeletak di kasur, lalu menjawab, "Yailah, sejahat-jahatnya karakter gue, kalau ada temen yang kesusahan nggak bakal gue tinggalin, kali."

Mia terkekeh. Akhirnya sahabatku ini tidak dilanda kesedihan lagi. Mungkin. Tapi aku masih penasaran tentang hubungan Mia dan Adnan. Kenapa mereka berbicara seakan sudah saling kenal? Mia juga ingin membuktikan apa pada Adnan? Ucapan Bi Ayu tadi benar-benar mengusik pikiranku saat ini.

Apa aku harus menjadi detektif sekarang? Mencari tahu dengan bukti-bukti dan fakta apa saja yang kudapat?

Tapi untuk apa? Lagipula ini tentang Adnan, aku tidak akan pernah peduli. Sedangkan Mia, dia sahabatku. Kami melewati susah-senang bersama selama dua setengah tahun ini. Jadi, apa yang harus aku lakukan?

Aku butuh pendapat kalian antara mencari tahu soal Mia dan Adnan atau membiarkan semuanya, seakan sedang tidak terjadi apa-apa.

"Nanti malam gue izin keluar, ya! Gue harus meriksa keadaan bokap gue," izin Mia.

Aku menatapnya seraya terkekeh.

"Ngapain harus izin? Kan itu hak lo," jawabku.

"Nggak apa-apa. Lo udah baik, Aal, sama gue. Gue sama lo udah kaya keluarga. Jadi, ya...," Mia kembali berkata dan tenggorokkannya tercekat hingga dia tidak bisa melanjutkan. Dia menatapku sendu, seakan ingin menyampaikan sesuatu yang ia pendam.

💊💊💊

Setelah selesai makan, tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Walaupun diam, aku tetap memperhatikan Adnan yang memakan makanannya dalam diam. Seperti biasa, adabnya makan tidak pernah mengeluarkan suara.

Malam ini aku ingin merasakan dinginnya malam yang menusuk kulitku di halaman belakang rumah. Aku duduk di ayunan panjang di sana. Menatap genangan air biru yang tenang pada kolam renang.

Seperti biasa, aku tidak pernah memakai pakaian panjang jika dirumah. Hanya celana bubble setengah paha dan tank top hitam. Aku membuka bungkus makanan ringan yang juga tak lupa kubawa dari kulkas dapur. Aku menyandar dan menaikkan satu kakiku di ayunan ini sembari mengayunkan pelan dengan kakiku yang satu. Menatap ke arah bulan yang setengah bulat memperhatikanku di bawah sinarnya.

Aku sedikit tersenyum. Membayangkan wajah Mama kandungku yang tengah tersenyum kembali padaku. Air mataku menetes. Aku merindukannya. Ingin sekali aku memeluknya. Aku menggeser sedikit pandanganku, menatap banyaknya bintang yang berkelap-kelip seakan ingin berkomunikasi denganku. Apakah bintang seindah dan selucu ini bila dilihat dari dekat? Iya, bintang yang katanya merupakan matahari jarak jauh menurut ilmu science.

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang