"Cinta bukan diucapkan, tapi dirasakan."
--QueenGarritsen--
Selamat membaca🤓
💊💊💊
DUA minggu berlalu. Aku sudah melewati masa ujian dan sekarang aku sedang berjalan di koridor sekolah, menatap lurus ke depan. Aku banyak dijauhi teman. Aku sudah tidak sepopuler dulu. Mereka percaya bahwa aku tengah hamil anak Adnan. Bagaimana mau hamil, dia saja menyentuh kulitku semili pun belum pernah. Dasar.
Aku terus berjalan melewati koridor sekolah yang entah mengapa terasa sangat panjang. Aku merasa gejolak di perutku, seperti magma yang ingin keluar dari perut bumi melewati gunung berapi. Kepalaku seperti bergoyang-goyang pusing. Aku memegangi perutku. Aku merasa badanku berkeringat tapi suhu tubuhku dingin. Ada yang tidak beres. Aku berlari ke kamar mandi yang berada di ujung koridor. Hampir saja aku memuntahkan muntahku ke lantai jika aku tidak segera meraih westafle dengan cepat. Di sana memang banyak siswi yang sedang merapikan dandanan terlihat jijik dan seakan ingin ikut muntah.
"Aduh, makanya kalau hamil nggak usah ke sekolah. Jijik tau!" Itu ucap salah satu siswi. Setelah itu mereka keluar ruangan.
Ingin sekali aku meladeni dia, tapi isi perutku tetap bergejolak ingin dikeluarkan. Aku terus mengeluarkan hingga tangan hangat memijat tengkuk leherku. Aku menatap kaca di depanku melihat pantulan bayangan orang yang ada di belakangku.
"Meisya?" ucapku lirih
"Keluarin terus, Aal!" suruh Meisya.
"Huwek!" seruku. Wajahku sudah merah menahan pusing dan mual.
Akhirnya, semua perutku kosong dan tidak ada yang bisa mereka keluarkan lagi. Aku terduduk di lantai toilet dan Meisya memberikan tissue untukku mengelap sudut-sudut bibirku. Dia juga memberikanku minumnya dan aku langsung meneguknya hingga tandas. Lalu Meisya memberikan minya kayu putih padaku.
"Itu buat apa?" tanyaku lemas.
"Biar mualnya reda. Lo tinggal gosok ke perut," suruhnya pelan.
Aku hanya menerima saja. Menurut apa kata anak PMR jika ingin sehat. Aku pun mulai menggosok minyak itu ke permukaan perutku dan menghirup aromaterapi yang keluar dari botol hijau kecil berbentuk itu. Rasa hangatnya langsung menjalar ke seluruh tubuh. Badanku agak mendingan walau masih sedikit agak pusing.
"Sudah mendingan?" tanya Meisya.
"Udah kok. Makasih," ucapku singkat.
Meisya hanya tersenyum dengan manisnya. Dia membenarkan posisi kerudungnya dan berdiri membantuku berdiri juga.
"Lo nggak pulang?" tanyanya.
"Belom. Tunggu dijemput si Om Tua," jawabku. Jutek memang. Aku tidak begitu menyukai Meisya. Ada sesuatu yang dibalik senyuman manisnya itu. Dia pasti menginginkan sesuatu.
Meisya terkekeh. "Jadi, lo beneran nikah sama Dokter Adnan?"
"Kata siapa?"
"Menurut gue, lo itu suka Aal sama Dokter Adnan. Dia juga kayanya care banget sama lo. Kenapa lo nggak jujur aja sama dia? Semenjak kejadian lo difitnah dua minggu lalu, dia bertanggung jawab banget, lho, sama kekacauan yang Mia sama Ronald lakuin. Dia mau ngejelasin kalau dia belum pernah nyentuh lo sama sekali. Ya, walaupun masih ada beberapa murid yang belum percaya.
"Gue juga percaya kalau Dokter Adnan itu berpegang teguh sama agama. Dia itu mau ngehalalin lo dulu, baru deh bebas ngapain aja."
"Diem lo! Gue nggak butuh nasehat lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)
Romance"Wanita yang baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik pula." ??? Aku tidak percaya kalimat diatas. Mana mungkin sih laki-laki baik dengan wanita baik jika aku sendiri jahat dan harus dijodohkan dengan laki-laki sebaik...