IPA #43

69K 2.8K 49
                                    

"Hidup itu seperti buah simalakama. Jalan kesini, masuk lubang buaya. Jalan kesana, masuk sarang ular. Tinggal kita saja yang menghadapinya harus selalu bijaksana dan tawakal."

--Queen Garritsen--

Selamat membaca🤓

💊💊💊

"AKU mendapatkan jejak pelakunya," ucap Leo semangat.

Adnan pun tersenyum--terlihat dari gesturnya dari belakang bahwa dia senang. Dia berbalik untuk melihat keadaanku dan aku menatap ke arahnya dengan sendu. Sedangkan dia; antara terkejut dan biasa saja.

Dia berjalan kembali ke arahku, menatapku yakin.

"Saya janji akan menemukan orang itu, Aal," katanya setelah sudah berada tepat di samping tempat tidurku.

Hening. Aku tidak menjawab. Perasaanku campur aduk, antara takut ditinggal dan harus melepaskan Adnan karena dia harus segera menemukan orang misterius itu secepatnya. Aku juga tidak mau diteror terus menerus.

Aku memilih memalingkan wajah dan meneteskan air mata. Kenapa cintaku serumit ini? Kenapa aku bisa mencintai orang yang aku benci?!

Adnan, bukan tipeku.

Adnan, berbeda 180° sifatnya denganku. Ibaratkan minyak dan air. Tidak bisa bersatu.

Adnan; dia baik, taat agama, sangat menghormati wanita apalagi keluarganya. Sedangkan aku? Aku ini brutal, tidak tau dan tidak ingin tau soal agama, aku pembantah, aku selalu menganggap mudah setiap hal.

Apakah faktor-faktor tersebut dapat mendukungku untuk berjodoh dengan Adnan? Mana yang katanya wanita baik untuk laki-laki yang baik dan wanita jahat untuk laki-laki yang jahat? Fakta itu saja membuat keyakinanku semakin menciut.

"Aal?" panggil Adnan.

Mendengar suaranya bahkan malah membuat dadaku sesak. Aku sesegukkan dan memejamkan mata yang mana membuat air mata yang sudah memupuk, meluncur semua melalui pelipisku.

"Aal--"

Bughh!!

Aku terkejut. Suara sesuatu jatuh yang sangat dekat denganku membuatku otomatis menengok ke arah Adnan.

Tubuhnya tergeletak di lantai. Wajahnya pucat seperti kekurangan darah. Entah apa yang terjadi aku langsung turun dari tempat tidur.

Aku membulatkan mata lalu berteriak, "ADNAN!"

Kesal selang infus ini menghambat pergerakkanku, aku pun mencabut kasar dari punggung tanganku--mengabaikan rasa sakit yang menjalar--hingga tiang infus itu terjatuh ke lantai. Aku--dengan gerakkan cepat--langsung menghampiri tubuh terbaring Adnan, menepuk-nepuk pipinya.

"Adnan, bangun, Adnan!!" teriakku histeris.

Pintu terbuka, menampilkan seorang Leo namun aku tidak menghiraukannya.

Aku mengangkat kepala Adnan dan kusenderkan di kedua pahaku yang tersimpu. Tangannya dingin dan wajahnya benar-benar pucat. Aku menangkup sebelah pipinya. Air mataku tak bisa kutahan untuk tidak keluar. Deras sekali hingga dadaku sesak. Jantungku saja berdetak kencang seperti habis maraton.

Disaat itu juga Leo mengangkat kedua ketiak Adnan.

"Aal, help me bring him to the sofa!" Leo berucap. Aku hanya mengangguk paham.

Dengan sekuat tenaga yang kumiliki walau diriku sangat lemas ditambah tangan yang gemetaran dan panas dingin akibat ketakutan, aku mengangkat kaki Adnan dan memindahkannya ke sofa.

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang