IPA #53

70.9K 2.7K 95
                                    

Selamat membaca 🤓

💊💊💊

"RONALD lo udah stand by?" tanya Mia kepada ponselnya seraya mengintip di balik pepohonan besar.

"Udah," jawab Ronald dari seberang telepon.

"Supir taksinya matre, jir," tambahnya.

"Tapi, mending lah ya. Daripada harus jatohin pesawat," lanjutnya kembali dengan kekehan di akhir.

"Ya udah, lo harus akting sebagus mungkin, okay? Jangan sampe Adnan sama Aalia curiga. Kalau nggak diperluin, jangan ngomong. Suara lo familiar banget," respon Mia tanpa basa-basi.

"Iya, Nyonya. Siap 86!"

"Udah, jangan kebanyakan nge-bacot. Kerjain apa yang harus lo kerjain. Om-om itu, harus mati," ujar Mia tenang dengan nada seram di akhir.

Ronald yang sedang duduk di mobil sedan berwarna oranye--di atasnya bertuliskan "taxi" dan logo huruf gundul hijaiyah yang kurang dimengerti--langsung saja menutup sambungan telepon dan mengecek keadaan. Dia menatap spion mobil yang berada di tengah-tengah depan atas mobil berbentuk persegi panjang--mengawasi jika Adnan dan Aalia sudah keluar dari pekarangan masjid.

💊💊💊

"Taksinya cuma dua, nggak muat," ujarku sebal pada Adnan.

Adnan pun terkekeh dan segera beranjak mengintip ke kaca mobil taksi.

"Kalian saja duluan. Aku sama Aalia biar cari taksi yang lain," kata Adnan pada Mama yang duduk bersama Ayahnya. Sedangkan di taksi yang lain, Bibi Hannah sudah duduk manis juga bersama Paman Sam yang memangku Pinkan.

Mama dan yang lainnya pun setuju lalu kedua supir taksi itu mulai menjalankan mobilnya masing-masing.

Sebenarnya bisa saja kami hanya menyewa dua taksi, namun aku dan Adnan harus berpisah, karena masing-masing taksi hanya memiliki satu kursi kosong saja di samping supir. Adnan tidak setuju jika aku duduk di samping laki-laki yang tidak memiliki hubungan apa-apa denganku.

Entah mengapa sekarang Adnan terlihat sangat posesif juga. Lihat saja, selain tidak rela istri-nya duduk di samping laki-laki lain, dia juga lebih sering menaruh tangannya di pundakku--lebih tepatnya merangkulku. Padahal, baru satu jam yang lalu dia mengucapkan Ijab Qobul bersama si Situmorang. Aku pun tidak tahu kenapa si Situmorang itu sangat buru-buru tadi.

Adnan dan aku kini berdiri di trotoar demi mencari taksi kosong untuk menghantar kami menuju bandara. Kami harus segera kembali ke Indonesia karena tujuan awal kami hanya untuk pulang ke tanah air.

Satu taksi pun kami dapatkan. Namun entah kenapa feeling-ku berkata buruk. Biarlah, daripada aku harus jalan kaki sejauh 12 Kilometer.

"Sayidi, alwijhat 'iilaa matar dubay alduwalii, (Pak, tujuan ke Bandara Internasional Dubai, ya)" ucap Adnan menggunakan Bahasa Arabnya yang fasih.

Supir taksi bertopi itu hanya mengangguk tanpa bicara dan segera menancapkan gas. Aku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya, karena mobil ini tidak seperti mobil pribadi pada umumnya. Terdapat sekat antara kursi penumpang belakang dengan supir di depan. Hanya terdapat satu jendela persegi kecil di tengah.

Aku tidak memikirkan lagi. Fokusku sekarang hanya ada pada Adnan.

Oh, Ya Tuhan. Mengapa pria di sampingku ini--Adnan--selain punya ilmu kedokteran bisa menguasai empat bahasa juga--Indonesia, Inggris, Jerman, dan Arab?

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang