IPA #18

88.4K 3.5K 78
                                    

"Mulutmu, harimaumu."

--QueenGarritsen--

Selamat membaca🤓

💊💊💊

SEMINGGU sudah waktuku di apartemen Adnan. Sedangkan Sarah, Pinkan, dan Bi Ayu sekarang tinggal di Vila ayah yang ada di Bogor. Ralat, vila Sarah.

Aku masih harus melanjutkan sekolahku yang sudah terputus selama seminggu. Jadilah aku harus menetap di apartemen milik Adnan. Soal teman Adnan yang mirip sekali dengan Zayn Malik itu--walaupun aku sedikit tidak rela menyebutnya seperti itu--tinggal di sebelah kami. Tadinya aku ingin tinggal sendiri di apartemen Leo --karena apartemen mereka bersebelahan--dan Leo tinggal bersama Adnan, namun aku tidak mau. Ya, karena ... Karena, um, sudah lah ya.

Tin tin!

Suara klakson itu menyentakku dari lamunan. Ternyata mobil Adnan. Dia membuka kaca pintu mobil di kursi penumpang depan dan menatap ke arahku dengan wajah datarnya. Aku masih berdiri di depan pos satpam, tempat biasa aku menunggunya saat dijemput.

Kenapa sih, masih saja datar. Padahal aku sudah satu atap berdua dengannya selama satu minggu walau aku pun jarang melihatnya. Aku tau dia sibuk, tapi bisakah dia tidak selalu meninggalkanku di apartemennya itu sendirian? Setidaknya biarlah Bi Ayu itu menetap. Soal Pinkan? Dia dipindahkan sekolahnya ke Bogor karena Sarah ingin mengurus Vila itu sendiri dibantu Bi Ayu yang kebetulan rumahnya dekat sana. Jadi dia bisa terus memantau anak kandungnya.

Apalah aku yang sudah tidak punya orang tua dan sekarang harus berhadapan dengan om tua muka es yang sama sekali bukan kerabatku. Menikah saja belum. Huft.

"Mau masuk tidak?" Tanya Adnan sekali lagi.

"Iyaa, tunggu sebentar!"

Karena si tuan datar sudah mengintrupsi, jadilah aku memasuki mobil Terios hitam miliknya.

Seperti biasa di apartemen, kami tidak memiliki pembantu, jadi, Adnan selalu mengajakku ke restoran cepat saji terdekat untuk mengisi perut. Memang, perutku dari setelah pulang sekolah tadi sudah berdemo minta jatahnya.

"Bagaimana sekolahmu?" Tanya Adnan saat kami sudah duduk di sebuah restoran.

Aku hanya terkejut, "Seriously? Lo nanyain keadaan sekolah gue? Ya kaya biasa, berdiri kokoh tanpa ada yang rapuh." Sambil mengaduk sop yang baru saja dihidangkan para pelayan restoran.

Adnan terkekeh, "Maksud saya, proses belajar kamu bagaimana? Bukan soal keadaan bangunan sekolahmu."

"Tumben nanyain. Siapa lo?" Jawabku sarkas sambil menyendokkan sop itu ke dalam mulut.

Adnan pun mengangkat sebelah alis lalu memotong danging steak-nya menggunakan pisau dan garpu.

Tidak banyak pasang mata yang memperhatikan kami dan tidak sedikit juga. Aku pun heran dengan mereka. Tapi kukira mereka--apalagi kaum hawa--sangat hobi menatap Adnan yang masih berbalut kemeja polos biru pudar ala kantoran walau jasnya ia tinggal di mobil.

Ah ya, ini waktu yang tepat untuk menanyakan soal profesinya.

"Adnan, gue mau nanya."

"Silahkan."

"Lo udah pensiun jadi Dokter, ya?"

Adnan menghentikan kegiatan memotong lalu mengunyah dan menelan daging yang sudah di suapnya.

"Masih. Kenapa memang?" Jawabnya Lalu melanjutkan memotong bagian daging selanjutnya.

"Kok lo jadi jarang pake jas lab lagi? Jadi, kaya mau ke kantor pake tuxedo." Aku menyruput kuah sop yang hangat itu di sendok.

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang