IPA #37

73.6K 2.8K 79
                                    

"Kebenaran? Sulit terungkap. Jika mudah, semua akan berakhir."

--QueenGarritsen--

Selamat membaca🤓

💊💊💊

"LEO! Aku mau minum. Kau memberiku makan tapi tidak membawakanku minum. Kau mau aku mati kehausan?!" protes Clara. Dia merenggut kesal pada kakak tirinya itu.

Terkadang saya suka terkekeh mendengar celotehannya yang masih kekanakkan. Itulah yang membuat saya menyayangi Clara sebagai adik saya sendiri. Saya memang tidak memiliki adik, tapi saya menyukai anak kecil, termasuk Pinkan, keponakan saya dan Clara. Walau wujud Clara yang dewasa, tapi percayalah, sesungguhnya pikirannya masih anak-anak.

"Iya, iya! Kau tunggu disini dan jangan cerewet. Aku akan membelikanmu minum di kantin," jawab Leo. Clara pun mengusir dia dengan gerakkan tangannya dan mengeluarkan bunyi seperti "hus hus" dengan mulutnya.

Lagi-lagi saya terkekeh. Saya mengajak Clara pergi meneduh di kursi yang berdiri kokoh di bawah sebuah pohon yang rindang. Taman rumah sakit terasa panas di siang hari menuju sore seperti ini. Waktu berjalan cepat rupanya.

"Adnan! Apakah lukamu banyak?" tanya Clara pada saya saat saya sudah mendudukkan bokong di kursi taman itu. Clara tetap duduk di kursi rodanya di hadapan saya.

"Tidak terlalu. Hanya goresan aspal," jawab saya seadanya.

"Entah mengapa aku tidak suka kalau kau dekat-dekat dengan Dokter Lisa," ucap Clara.

Saya mengerutkan dahi, "Ada apa memangnya?"

"Kau tahu? Dia berteman dengan psikopat."

Saya tambah heran dengan apa yang Clara bicarakan. "Apa maksudmu Clara?"

"Kemarin Leo pergi mengurus urusan bisnisnya dan Ibu sedang mengurus surat perceraiannya dengan ayah. Aku bosan seharian hanya di rumah sakit, tidur, makan, menatap tembok. Untung saja, Leo mengajarkan menggunakan kursi roda sendiri jika ada keadaan darurat.

Saat suster memberikan beberapa cairan di selang infusku, aku memintanya untuk membantuku duduk di kursi roda, dengan alasan ingin melihat keadaan kota dari jendela berhubung kamarku berada di lantai enam," jelas Clara. "Adnan, boleh aku minta air dulu? Tenggorokanku sakit."

"Leo sedang membelinya, bukan? Omong-omong itu bukan tenggorokan, tapi kerongkongan."

"Iya, tapi aku keburu haus."

"Sabar lah. Kau ingat apa kataku; bersabar,"

"nanti disayang tuhan," ucap kami bersamaan.

Clara mengangguk, "Tadi aku sampai mana?"

"Hmm, meminta bantuan kepada suster untuk ke kursi roda dan--"

"Ah, iya! Setelah itu kuputuskan untuk menuju lantai bawah. Kau tahu kan kalau aku sedang bosan, aku bisa melakukan apa saja? Kecuali jika dirumah hanya ada aku dan ayah, ayah tidak membiarkan aku berbuat apa-apa.

Lupakan! Aku ke lantai paling bawah menggunakan lift. Ada banyak orang di dalam lift tapi kursiku masih muat masuk kedalam. Saat lift sudah terbuka di lantai paling bawah, banyak orang yang keluar hingga aku kebagian paling terakhir. Namun, ada seorang wanita menggunakan hoodie buru-buru masuk hingga pintu lift tertutup lagi dan aku hanya berdua bersamanya. Biasanya kalau ada manusia semisterius dia, dia itu seorang penjahat."

"Kenapa kau tidak protes dan mengapa kau bisa menyimpulkan secepat itu?" potong saya.

"Tidak ada waktu untuk protes, jadinya aku diam saja, hitung-hitung jalan-jalan naik lift. Dan aku sudah sering menonton atau membaca cerita action, jadi jelas saja aku tahu ciri-ciri mereka," jelasnya yang membuat saya terkekeh.

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang