IPA #28

75.5K 3.1K 59
                                    

"Jika mencintaimu adalah sebuah dosa, maka biarkanlah aku menjadi seorang pendosa."

--Aalia Banan--

Selamat Membaca🤓

💊💊💊

"AYAH, apa tidak sebaiknya kami membawa ayah ke rumah sakit? Kondisi ayah--"

Ucapan Adnan dipotong oleh suara gumaman sang Ayah. Bibi Hannah berbicara lagi. Memperhatikan gerakan mulut ayahnya Adnan.

"Biarkan aku berbicara, Adnan!" Ayahnya Adnan terbatuk lagi. Melihat batuk darahnya mampu membuat perutku ingin meledak. Aku ingin muntah sekarang. "Kau, anak tiri Sarah."

Aku menunjuk dadaku, bertanya apakah beliau hendak berbicara padaku.

"Hannah telah menceritakan tentang dirimu padaku. Sebelum Adnan berangkat ke Indonesia, dia juga sempat menceritakan ingin menikahi seorang gadis sesuai amanah Ayahmu.

"Dan ini menjadi pertanyaanku, mengapa kalian belum menikah juga?" Ayah Adnan bergumam lagi. Dia terlihat ingin tertawa. "Maafkan Pak Tua ini yang ingin sekali melihat putra satu-satunya menikah."

Ayah Adnan kembali terbatuk.

"Adnan, hanya menikahlah demi Ayahmu yang sudah diambang maut ini. Aku bisa melihat malaikat pencabut nyawa sudah berada di dekatku dan kapan saja dia bisa menyabut nyawaku."

"Iya, Ayah! Tapi Ayah harus ke rumah sakit sekarang. Kondisi Ayah memburuk," ujar Adnan begitu pelan dan lembut.

Ayahnya Adnan bergumam lagi. Kali ini tidak diterjemahkan Bibi Hannah melainkan Bibi Hannah yang berbicara sendiri kepada Pria tua itu.

"Adnan, Ayahmu ingin tanganmu berada di atas tangannya," perintah Bibi Hannah. Adnan pun hanya mengangguk dan menurutinya. "Aalia, kemari, Nak!"

Aku kembali menunjuk diriku. Memastikan dia berbicara padaku karena aku sempat paham dia menyebutkan namaku. Aku pun mendekat.

Tangan kananku di ambil Bibi Hannah saat jaraknya sudah memungkinkan. Aku bingung. Bibi Hannah membawa tanganku menuju ke atas tangan Adnan dan meletakkannya disana.

Adnan menatapku. Aku juga menatapnya. Sorotan matanya terlihat begitu terluka. Rasa memohon kepadaku. Ayahnya Adnan kembali bergumam.

"Aalia, aku mohon. Terimalah anakku sebagai suamimu. Terimalah dia menjadi Imammu, ayah dari anak-anakmu kelak. Dia adalah Imam Pilihan Ayahmu dan aku menjamin ada alasan tertentu mengapa ayahmu memilih Adnan untuk menjadi pasangan hidupmu. Aku juga meyakini itu. Aku harap--"

Ucapan Bibi Hannah terpotong saat tiba-tiba aku menarik tanganku dengan kasar dan cepat. Aku yakin pasti Ayah Adnan sekarang berubah menjadi penghulu dan saat itu juga aku dan Adnan akan dinikahi. Aku pun berlari keluar dari kamar Ayahnya Adnan dan hampir saja menabrak Leo jika aku tidak menghentikkan langkahku sesaat.

Leo menatapku bingung lalu aku segera pergi meninggalkannya. Dia ingin memasuki kamar dan menatap Adnan bingung lalu Bibi Hannah yang makin terisak.

Aku berlari keluar dari rumah. Aku bisa menafsirkan bahwa sekarang hampir saja Ashar. Dilihat dari matahari yang sudah ingin tumbang ke sisi Barat. Aku menuruni anak tangga satu persatu. Aku malu. Aku tidak akan bisa bersitatap pada Bibi Hannah, Adnan, maupun Ayahnya setelah apa yang aku lakukan.

Aku memilih pergi. Entah kemana aku akan melangkah, aku memutuskan untuk pergi. Air mata makin deras mengalir di pipiku seiring kakiku berjalan. Daerah ini cukup sepi untuk dilewati. Banyak kebun dan tanah lapang milik warga yang masih berjejer. Tidak ada bedanya jika kalian pulang ke kampung halaman seperti di desa-desa di Indonesia. Bedanya, teknologi mereka lebih canggih.

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang