IPA #5

104K 4.6K 38
                                    

"SURAT wasiat ini di ajukan oleh Bapak Bayu Mahendra pada tanggal 23 Juli 2017. Beliau mengatakan bahwa 5% dari hartanya akan diberikan kepada yayasan yatim piatunya yang ada di Bogor berupa uang sebesar 50 juta rupiah. 10% dari hartanya akan diberikan kepada nyonya Sarah Aisha Mahendra dan Pinkan Mahendra berupa vila yang berdiri di Bogor bersama dengan isinya. Dan 70% berupa Rumah kediaman Bapak Bayu ini beserta isinya, 3 mobil, dan tanah seluas 2 hektar akan diberikan kepada anak kandung Pak Bayu sendiri, yaitu nona Aalia Banan Mahendra." Mataku langsung berbinar. Seriously?

"Tapi dengan satu syarat untuk Nona Mahendra." Si pengacara menatapku dari balik kacamatanya emasnya. "Anda harus menikah dengan Tuan Adnan Mohammed Borowski dan menuruti semua perkataannya. Atau semua hartanya akan menjadi milik Tuan Borowski seutuhnya. Waktu kalian berdua untuk mempersiapkan pernikahan hanya enam bulan atau kurang. Selama itu juga, Tuan Borowski belum bisa mengambil hak harta waris sepenuhnya. Tuan Borowski diberikan hak untuk memberikan sebagian harta atau seluruhnya, maksimal saat Nona Mahendra telah mendapatkan gelar sarjana tingkat satu. Dan kepada anda, Nona Mahendra. Jika menurut anda tindakkan dari Tuan Borowski buruk, maka anda bisa memberi bukti pada saya untuk menuntutnya."

Kini rahangku benar-benar ditarik gravitasi. Seolah duniaku sedang dijungkir balikkan oleh perkataan si pengacara. Aku bisa melihat juga betapa terkejutnya Adnan saat ini. Sekali lagi, seriously?

"Tu-tunggu! Jadi harta Ayah belum bisa diambil sebelum kami menikah? Itu pun akan jadi atas nama Adnan bukan aku?" Tanyaku memastikan.

"Iya. Seperti yang saya katakan tadi." Jawab pengacara itu datar.

"A-ah? Ba-bapak pasti bercanda kan?" Aku menatap ke arah Adnan lagi. Dia tidak lagi terkejut, melainkan memasang kembali wajah datarnya.

"Ini sudah tertulis dari delapan bulan yang lalu, Nona!"

"Seriously? Haha!" Aku menaruh bantal sofa yang ada di kamar Sarah dan berlari menuju kamarku di lantai dua. Mana ada seperti ini? Aku akan mendapatkan harta Ayah tapi dengan syarat menikah dengan Adnan? Si om-om tua wajah datar itu? Aku benar-benar tidak bisa.

Aku menyeka air mataku sambil berlari berjatuhan.

"Non Aalia!" Panggil Bi Ayu.

💊💊💊

"Lo kenapa sih, Aal? Tumben banget lusuh? Karena Ayah lo ya? Gue turut berduka deh ya." Tanya Mia pelan. Chairmate sekaligus sahabatku. Aku memang sedang di sekolah saat ini. Setelah menenangkan diri di kamar dengan ditemani Bi Ayu selama 24 jam kemarin. Aku tidak mengikuti tahlilan di rumahku karena malas. Dan kalian tahu, aku tidak bisa apa-apa. Huruf hijaiyah pun aku tidak hafal. Ah sudahlah.

"Iya." Jawabku singkat.

Drrtt... Drrtt...

Itu suara ponselku yang bergetar. Sengaja aku alihkan menjadi getaran agar tidak menganggu kegiatan belajar-mengajar di kelas. Aku pun mengambil ponselku yang kutaruh di atas meja dan meminta izin kepada Bu Ani untuk ke toilet. Setelah diizinkan, aku melenggang pergi ke toilet putri yang letaknya hanya dua bilik kelas dari kelasku.

Ternyata sudah ada lima missed call dari nomor yang sama namun tidak diketahui. Aku hanya mengerutkan dahi.

Pip.

"Ya, Halo?" Tanyaku.

["Halo, Aal! Ini gue Zahra."] Sahut orang di seberang.

"Oh, Zahra." Aku membuka keran westafle dan merapikan make up ku yang agak berantakan sembari menatap ke arah kaca.

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang