IPA #19

85.1K 3.4K 65
                                    

"Sejauh-jauh tupai melompat, pasti akan jatuh juga."

Selamat membaca🤓

💊💊💊

"WHAT the ff?!" teriakku setelah mendapat pesan dari grup angkatan sekolahku yang membuatku ingin berteriak sekencang-kencangnya. "RONAAALD!!!"

Aku pun menangis membanting ponselku ke arah tembok hingga pecah. Adnan dengan rasa kepekaannya langsung mendorong pintu kamarku. Dia menatap ponselku yang bergeletak tak berdaya di lantai.

"Aalia, kenapa?" tanya Adnan kepadaku seraya mendekat.

"DIEM LO! INI SEMUA GARA-GARA LO, TAU NGGAK?!" bentakku yang membuat Adnan tersentak.

"Apa salah saya?"

"Ronald ngirim voice note suara gue yang isinya mau nikahin lo dua minggu lagi ke grup angkatan dan sekarang nama baik gue luntur satu angkatan." aduku.

"Bagaimana bisa?"

"Dia ngerekam percakapan kita waktu di resto tadi dan nggak tau kenapa bisa ada conversation gue sama Ronald yang bilang, 'gue mau nikah karena hamil anak lo'."

Tangisanku makin menjadi. Adnan pun menghampiriku dan duduk di samping ranjangku.

"Lalu kenapa kamu mengatakan ingin menikah dengan saya dua minggu lagi kepada Ronald tadi?"

Aku terdiam. Kenapa juga aku mengatakan hal demikian?

"Itu ... Itu ... Hm ... Soalnya gue ... Gue kan kesel sama dia. Baru aja beberapa hari lalu putus sama gue dan sekarang dia udah nikah." jelasku.

Sedangkan Adnan terkekeh, "Yasudah, salah kamu. Siapa suruh cemburu?"

Aku memukul lengan kekarnya itu gemas.

"Enak ya lo ngomong. Ya, jelas lah gue cemburu. Gue sama dia udah pacaran hampir enam bulan dan ternyata dia malah tanam benih di perut orang. Gimana nggak kesel coba?" curhatku.

Adnan pun hanya diam dan tidak bisa melanjutkan.

"Ronald juga bilang kalau gue hamil di grup. Makanya gue mau dinikahin Om-om kaya lo." lanjutku. "Aduh, gimana ini?!"

Aku melipat kakiku hingga lutut menyentuh dadaku. Aku bersandar pada kepala ranjang dan memeluk kakiku lalu menggigit kuku-kuku jariku.

"Sampai segitunya, Aal?"

Aku menatap kesal Adnan.

"Tuh, kalau nggak percaya liat hape gue!"

Adnan pun beranjak dan menghampiri ponselku yang layarnya sudah tidak mulus lagi. Dia mengambilnya dan memperlihatkannya padaku.

"Mati."

"Bodo amat! Gue bisa beli lagi."

"Pakai uang siapa?"

Aku terdiam. Iya, juga ya. Pakai uang siapa?

"ARGH, SANA LO!" aku melempar bantal ke arahnya, namun berhasil ia tangkap.

"Salah saya apa lagi?"

"BANYAK! UDAH SANAAA!!!"

Aku akhirnya berdiri dan mendorong dia untuk keluar dari kamarku. Setelah berhasil, aku membanting pintu di hadapannya lalu menguncinya.

💊💊💊

Aku menatap jalanan lewat kaca mobil yang berjalan mundur saat mobil Adnan sudah membelahnya. Aku tidak tertarik menatap titik lain kecuali menabrak mataku dengan warna coklat dan hijau jalanan, yang terkadang dihiasi warna lain juga.

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang