IPA #15

95.4K 3.5K 106
                                    

"Sulit rasanya membedakan yang mana yang baik dan yang buruk."

--Aalia Banan--

Selamat Membaca🤓

💊💊💊

AKU meraba tempat tidur di sisi samping. Kosong. Aku tidak bisa merasakan keberadaan Mia. Aku pun mencoba bangun dan anehnya perban di kakiku sudah dilepas. Aku menatap kakiku yang terlihat bintik-bintik bekas luka. Untungnya rasa panasnya sudah sedikit hilang. Aku menatap nakas Adnan dan mengambil ponselku. Sudah pukul delapan pagi.

Aku mulai terduduk. Mengusap wajah dan mengucak mataku. Merenggangkan otot sedikit. Aku menyentuh kakiku, sudah agak lebih baik dari semalam. Rasa sakitnya pun memudar. Aku mencoba berdiri dan ternyata bisa walau sedikit kesulitan dan pincang.

Aku berjalan ke arah depan dan cahaya matahari baru bisa kulihat. Di kamar Adnan memang tidak disediakan jendela, karena letaknya hampir menuju pojok rumah. Walaupun begitu, kamar-kamar tamu di rumah kami itu seperti hotel. Ayah sangat menghargai tamu-tamunya. Karena kata beliau, "Tamu adalah Raja". Aku sih hanya bersyukur karena Ayah masih menganggap Adnan itu "Tamu" bukan bagian dari keluarga.

Aku menuju ke arah ruang makan, sudah ada Adnan yang sudah siap dengan jasnya "lagi", Pinkan yang sudah siap ke sekolah, Mia yang duduk menatap Adnan tanpa berkedip dengan tatapan... Yang sulit diartikan. Entah kebencian atau yang lainnya.

Mereka pun merasakan kehadiranku dan Adnan segera beranjak dari duduknya dan membantuku untuk berjalan.

"Memangnya kakimu sudah kuat dibawa berjalan?" Tanya Adnan.

Aku yang dibuat heran olehnya karena tiba-tiba begitu perhatian padaku hanya diam seperti orang bodoh. Dia menuntunku menuju meja makan lalu menarik sebuah kursi untukku dan dia langsung duduk di sebelahku. Sarah baru saja keluar dan dia tersenyum melihat perlakuan Adnan terhadap diriku.

💊💊💊

"Saoloh, Mi! Ini parah banget sumpah, dah! Mau puasa malah yang aneh-aneh aja. Ini teroris tuh bener-bener kurang kerjaan dah." Responku kepada Mia saat membaca sebuah pesan berita.

Kini kami berada di kamarku. Bersantai sejenak karena aku merindukan kamarku walau hanya kutinggal satu malam saja.

Mia hanya diam. Berbaring sembari melamun menatap langit-langit kamarku. Aku yang bersandar di kepala ranjang menatapnya sedih. Sebegitu sedihnya kah menjadi korban broken home? Aku pun menyentuh pundak Mia, memberikan kekuatan padanya--agar dia merasa lebih tenang.

Dia menatap diriku kembali, duduk lalu memelukku dan menangis sesegukkan. Aku membalasnya dan mengelus punggungnya. Berharap dia bisa memberikan beberapa kesedihannya padaku dan aku bisa memberikan dia sedikit ketenangan.

"Gue kangen Mama sama Papa gue yang dulu, Aal!"

"Luapin semua, Mi! Luapin!" Ucapku menenangkan. Entah mengapa aku pun ikut menangis.

Mia itu adalah sahabatku yang kutemui sejak kami menginjak SMA. selama hampir tiga tahun juga sebelum UN nanti kami selalu berada di kelas yang sama hingga rasanya tidak menginginkan lebih banyak sahabat lagi. Karena hampir setiap hari kami bersama-sama, hampir tidak ada satupun latar belakang Mia yang tidak kuketahui maupun latar belakangku yang tidak Mia ketahui. Kami saling berbagi cerita. Walaupun terkadang ada beberapa hal yang memang tidak bisa kami buat berbagi.

Setahun lalu, Mama dan Papa Mia bercerai karena Mama Mia mendapatkan Papanya tengah berselingkuh dan akhirnya dia meminta cerai. Sedangkan Mia sendiri memiliki seorang kakak laki-laki yang tinggal di Medan. Mia bilang, kakaknya punya penyakit yang mengakibatkan dia selalu ketagihan akan seks. Mia juga pernah bercerita bahwa dia pernah menjadi korban pencabulan kakaknya di umur, ya, kurang dari 15 tahun. Maka dari itu, sang Papa dan Mama menitipkan kakaknya itu ke Medan. Tepatnya di tempat seperti rumah sakit penanganan seperti itu.

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang