IPA #25

92.8K 3.2K 64
                                    

"Cinta itu seperti game, bertahap. Setiap naik tingkatan babaknya, naik juga tingkat kesulitannya."

--Queen Garritsen--

Selamat membaca🤓

💊💊💊

"GUE pulang, Aal," ucap Mia datar.

Betul-betul Om Tua itu! Kenapa pula dia harus mengusir Mia seperti itu. Ya, walaupun dengan cara yang halus, sehalus pasir pantai.

Melihat Mia sudah menghilang di balik lift, aku kembali ke apartemen Adnan dan menatap dia tajam.

"Kenapa lo ngusir Mia pakai segala bilang mau ke Jerman, hah?" tanyaku langsung.

"Saya tidak mengusir. Memang saya ingin pergi ke Jerman. Kalau kamu tidak diajak, kamu akan menggerutu tidak jelas. Menyangka saya setan atau pencuri lagi."

"Kita mau ngapain ke Jerman?"

"Jenguk adiknya Leo."

"Penting banget apa. Kaya dia artis aja sampai sakit harus dijenguk ke Jerman," protesku.

Lebih memilih tidak merespon, Adnan kembali menuju kamarnya. Pintu depan yang masih terbuka terketuk, memperlihatkan Leo yang sudah rapi dengan pakaian dan kopernya. Aku mendengus kesal.

Leo masuk segera menuju sofa ruang tamu dan aku masuk ke kamar, berganti pakaian dan setelah itu, kami berangkat menuju bandara.

💊💊💊

Kami menunggu pesawat di ruang tunggu. Bosan sekali hampir satu jam disini. Aku hanya bisa berkutik dengan ponsel saja selagi belum terjebak di udara sana, pasti lebih membosankan. Aku sering sekali jalan-jalan ke luar negri maupun keluar kota naik pesawat bersama Papa, Sarah, dan Pinkan. Tapi waktu itu aku lebih memilih untuk menyusul.

Hello, siapa juga yang ingin satu pesawat dengan keluarga tiri. Itu pemikiranku waktu itu.

Satu jam itu pun berlalu. Aku, Adnan, dan Leo segera bersiap-siap menuju terminal lalu segera menaiki si pesawat besar dan disinilah posisi kami. Aku duduk di dekat jendela, Adnan di tengah, dan Leo di kursi pinggir. Kami berada di tengah-tengah bagian pesawat. Lebih baik menatap ke arah luar jendela daripada menatap pramugari yang bolak-balik gabut tidak jelas. Namun tidak bagi Leo. Dia malah menikmati pemandangan itu.

Pesawat mulai take off pukul lima lewat lima belas menit. Aku memasang sabuk pengaman. Terjadi sedikit guncangan saat roda pesawat sudah tidak menyentuh tanah. Telingaku pengang di buatnya. Sudah di atas awan, sabuk itu kubuka lagi. Terlalu menyesakkan.

Delapan jam di udara benar-benar membuatku bosan tingkat tinggi. Satu jam pertama, aku memilih untuk memutar musik. Pesawat ini memiliki banyak musik offline yang update sih. Mulai dari Indonesia, Barat, negara-negara Asia, lali mulai dari modern, tradisional, klasik semua tertampung di sini. Bosan sudah, aku memilih memutar film. Aku memang asik sendiri menonton itu. Di pertengahan film, adzan maghrib berkumandang. Akhirnya para pramugari itu memberikan kami minum dan makanan. Karena seharian aku juga puasa, makanan maupun minuman itu langsung tandas setelah lima menit.

Adnan menahan tawa melihat kelakuanku yang aneh disampingnya. Berbeda jauh denganku, Adnan memakan makanannya dengan penuh penghayatan, tidak seperti diriku yang rakus. Tapi bodo amatlah. Kalau Leo? Dia non muslim, mana ada puasa. Jadinya dia hanya makan sekenanya. Aku yakin, di apartemennya dia sudah makan duluan sebelum kami.

Setengah jam lagi berlalu. Aku masih menikmati film bergenre aksi. Menatap banyak para pemain yang melakukan tonjok sana tonjok sini, tendang sana tendag sini. Mungkin saja teknik bela diri itu bisa kupelajari untuk mematahkan kepala Adnan.

Imam Pilihan Ayah (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang