Rana dibawa ke taman belakang sekolah oleh Woojin dan Jihoon untuk menenangkan Rana yang sedari tadi terus menangis.
Woojin dan Jihoon memberi Rana ruang waktu untuk meluapkan semua tangisannya.
"Udah dong Ran nangisnya. Nanti, kalau ada guru yang lewat, bisa berabe urusannya. Ntar di sangka gue sama Woojin lagi yang ngapa-ngapain lo." Jihoon berlutut di hadapan Rana yang sedang duduk di bangku.
"Nanti di beliin coklat tuh sama si gembul kalau lo berhenti nangis. Biasanya 'kan cewek suka banget sama yang namanya coklat." Itu Woojin yang berujar. Bukan Jihoon.
"Tahu apa lo tentang cewek? Kencing lo aja belom lurus. Dasar buluk bergingsul."
"Gak usah ngatain gue mulu tai! Dasar banci."
"Ah, apa? Panci? Gue gak denger."
"Abang..."
Perdebatan yang terjadi antara kedua abangnya, membuat kepala Rana tambah sakit. Perempuan itu hanya butuh ketenangan. Bukan kebisingan seperti ini.
"Kepala Rana tambah pusing tahu, dengar Bang Woojin sama Bang Jihoon berantem terus!"
"Oke oke. Abang minta maaf. Kamu mau ke ruang kesehatan? Kamu bisa istirahat disana."
Jihoon berkata seperti itu pada Rana untuk mencari kesempatan dalam kesempitan untuk membolos kelas bersama Woojin.
"Hm... Bang Woojin... Rana minta maaf soal earphone milik Abang."
"Santai aja dek. Lagian juga dirumah masih banyak kok stoknya. Hehehe. Mau ke ruang kesehatan? Biar Abang-abang yang nganterin kamu ke sana."
"Gak perlu di anterin Bang. Rana bisa sendiri. Kalian berdua bolos kelas lagi 'kan? Lebih baik Abang-abang masuk ke kelas."
"Abang bosen dek belajar terus." Keluh Jihoon.
"Abang juga benci banget sama pelajaran matematika. Abang gak mau balik lagi ke kelas." Kata Woojin beribu alasan.
"Tadi, Bang Woojin bilang ke teman-teman Rana kalau Abang kasihan sama orangtua teman-teman Rana yang kerja keras buat nyari duit tapi kelakuan anaknya busuk di sekolah. Terus, apa bedanya Abang sama teman-teman Rana tadi?"
Woojin kicep dengan penuturan Rana. Sedangkan si Jihoon, dia asik tertawa karena si Woojin kemakan omongan nya sendiri.
"Mampus!"
"Abang Jihoon juga sama. Udah deh, kalian balik ke kelas aja. Rana bisa sendiri ke ruang kesehatan."
"Rana, adek Abang yang paling cantik, Abang enggak bisa membiarkan adek Abang tersayang sendirian ke sana. Nanti, kalau mereka bully kamu lagi gimana?" Woojin tidak henti-hentinya terus membuat seribu alasan agar bisa membolos.
Rana menghela napasnya. Rana pasrah jika terus dipaksa seperti ini oleh Abangnya.
"Yaudah, Rana izinin Abang anterin Rana ke ruang kesehatan. Tapi, abis itu kalian langsung ke kelas ya?"
"Iya Rana!" Jawab Woojin.
Disaat ketiganya ingin beranjak pergi dari taman, datang seseorang yang lebih dulu mencegat mereka dari depan.
"Mau kemana lo? Mau bolos, hm?"
Suara itu. Suara yang sangat menakutkan bagi Rana. Suara itu adalah suara dari seseorang yang sangat membencinya bahkan ingin dia mati.
"Gini, balasan lo setelah Ayah kerja mati-matian cuman bisa lo sekolah?! Hah?!"
"Woy Lin, si Rana kagak bol--" Guanlin langsung memotong pembicaraan Woojin.
"Mau ngelawan gue, hm?" Guanlin menarik lengan Rana dan menariknya kasar, "Ikut gue!"
Rana sedikit tertatih ketika harus mensejajarkan langkah Guanlin yang cepat. Ditambah keadaan kaki nya yang sakit.
"Guanlin! Woy! Ini sekolah!" Kata Jihoon berteriak memperingati Guanlin untuk tidak bertindak kasar kepada Rana.
"Karena ini di sekolah, gue mau memberi dia hukuman karena bolos!"
Jihoon dan Woojin mendecak dan saling berpandangan satu sama lain.
"Ini gimana jadinya?" Woojin bertanya pada Jihoon.
"Kejar si Guanlin lah bego."
Keduanya berlari mengejar Guanlin yang menyeret Rana ke tengah lapangan dengan terik matahari yang sangat menyengat.
- - -
Saat ini, kesebelas Abang Rana berkumpul di ruang tengah yang sedang menginterogasi Guanlin.
Mereka menginterogasi Guanlin karena menghukum Rana padahal perempuan itu tidak membuat kesalahan apapun.
Guanlin menghukum Rana untuk berdiri di tengah lapangan di bawah sinar terik matahari dengan posisi hormat menghadap ke tiang bendera.
Jihoon dan Woojin mencoba untuk menghentikan Guanlin karena sikapnya yang sudah lewat batas sebagai ketua OSIS dan memberitahukan bahwa Rana memiliki penyakit anemia.
Ya. Rana pingsan setelah tenaganya sudah terkuras habis ditambah kondisi fisiknya yang mudah kelelahan.
"Dek... Lo udah kelewatan banget sama Rana." Itu suara Jisung. Kakak tertua.
"Apa salah Rana sih dek, sampe lo benci banget sama dia?" Minhyun tak habis pikir dengan adiknya.
"Dia itu anak pelakor, Bang! Dia udah ngehancurin keluarga kita!" Tanpa ragu ataupun takut dan dengan suara lantang, Guanlin menggunakan nada tinggi kepada semua kakaknya.
"Guanlin! Tutup mulut kamu! Abang gak pernah ngajarin kamu kayak gini!" Semuanya diam saat Jisung sudah marah.
"Apa karena dia perempuan, makanya kalian semua perhatian sama dia?! Rana itu cuma adik tiri kalian semua!"
Brak
Jisung sangat marah sehingga menggebrak meja yang membuat lainnya tampak terkejut.
Mereka jarang melihat Jisung semarah ini. Semarah-marahnya Jisung, dia pasti tidak pernah serius dan selalu diakhiri candaan.
"Abang gak peduli Rana adik kandung Abang atau bukan! Kita semua tulus sayang sama Rana. Tolong Guanlin, Abang gak mau kayak gini. Terima Rana jadi adik kamu, hm?"
Dengan tidak sopannya, Guanlin pergi dari sana tanpa mengatakan apapun menuju kamarnya di lantai dua.
Yang lainnya hanya bisa menghela napas melihat situasi kacau seperti ini. Ini pertama kalinya bagi Jisung melihat keluarganya di ujung jurang kehancuran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eleven Stepbrothers - Wanna One
Fanfiction| Season 1 | [Book 1] ✔ [Book 2] ✔ Hidup bersama dengan sebelas saudara tiri laki-laki tidak semenyenangkan seperti film-film yang di tonton oleh Rana. Ada yang menerimanya sebagai keluarga mereka dan ada yang sebagian membenci kehadiran Rana. Seper...