Perasaan tak karuan berdatangan. Ragu terkadang menemui Rana untuk berhenti saat itu juga dan tidak berjalan lagi. Guanlin merupakan kutub magnet yang otomatis membuat Rana mendekat padanya. Tak bisa menjauhinya apalagi menghindar darinya.
Ruang auditorium yang cukup luas itu tidak mungkin tidak di lengkapi dengan pendingin ruangan. Entah apa yang membuat keringat Rana keluar begitu banyak. Mengalir membasahi seluruh tubuhnya.
Akankah nanti suasananya menjadi canggung?
Sudah sebulan lamanya dia tidak berkomunikasi maupun berkontak dengan keluarganya. Apalagi Guanlin.
Selama sebulan itu Rana menghindar dari benda yang bernama handphone itu. Berusaha untuk terbiasa tidak bergantung pada benda itu yang hanya akan membuat dirinya terus berharap kebahagiaan menjemputnya entah itu kapan.
Keringat mengalir di pelipisnya saat dia sudah sampai tepat di depan Guanlin. Suasana menjadi sangat senyap dan tenang. Guanlin sepertinya merasakan kehadiran seseorang di dekatnya.
Menutup bukunya dan mengangkat kepalanya. Melihat ke orang yang berada di dekatnya. Rana yang pertama membuka mulutnya untuk berbicara.
"A--abang Guan--lin..."
Panggilan yang telah lama Rana ucapkan. Panggilan yang mungkin gadis itu selalu ia rindukan.
"Kenapa? Kenapa lo kembali lagi Ran?"
Pertanyaan sarkastik dari Guanlin yang sudah Rana pastikan akan terjadi itu tidak tahu kenapa menampar keras hatinya. Apa hatinya terluka?
"Maaf... Rana minta maaf."
Guanlin memasukkan semua bukunya ke dalam tasnya. Guanlin berusaha mati-matian untuk tak mempedulikan Rana. Tak menyadari kehadirannya disana. Menganggap Rana hanyalah sebuah ilusi yang tidak nyata.
Rana tidak bisa mencegah keinginan Guanlin untuk pergi darinya. Namun, Rana bisa membuat Guanlin untuk tetap berada di tempatnya. Tak ada yang bisa menjamin apakah bisa terjadi atau tidak.
"Rana gak bahagia. Sama sekali Rana tidak bisa bahagia."
Bibir Guanlin terasa beku. Pun dengan tubuhnya yang tidak bisa pergi dari sana. Seakan semesta juga tidak memihaknya untuk pergi dari sana.
"Jika waktu itu Abang yang meminta maaf ke Rana, sekarang, Rana yang akan meminta maaf ke Abang. Minta maaf atas keegoisan Rana yang rakus ingin bisa bahagia. Maaf."
Guanlin tetap memunggungi Rana. Dia tidak ingin melihat wajah yang hanya membuatnya merasa jijik kepadanya.
"Lo gak perlu membahas itu lagi. Gue udah lama melupakannya. Dan sekarang, lo tiba-tiba datang minta maaf dengan rasa percaya diri lo yang tinggi itu malah membuat gue semakin tersadar kalau lo emang benar-benar gak pantas untuk diberikan permohonan maaf dan rasa penyesalan."
Seperti yang kalian tahu, kata-kata terakhir kalimat yang Guanlin ucapkan merupakan kalimat andalan dari Guanlin untuk membungkam mulut Rana. Mungkin kalian bosan mendengarnya.
"Rana menemui Abang Guanlin hanya untuk meminta maaf. Setelahnya, terserah Abang Guanlin mau menerima maaf Rana atau enggak. Rana menemui Abang, bukan meminta Abang supaya mau lagi untuk berdiri berjalan bersama Rana. Enggak. Rana gak akan memaksa Abang untuk melakukannya."
Guanlin berbalik. Dia tersenyum miring kepada Rana.
"Bagus kalau lo sekarang udah sadar. Lo gak akan lagi bermimpi tentang fantasi liar lo itu yang sama sekali gak ada gunanya itu."
Bukannya menangis karena perkataan Guanlin yang menusuk perasaan nya, sebaliknya. Rana malah tersenyum tulus. Sebuah senyum tipis yang terlihat begitu tulus dari seorang gadis yang bercita-cita untuk bahagia bernama Rana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eleven Stepbrothers - Wanna One
Fanfic| Season 1 | [Book 1] ✔ [Book 2] ✔ Hidup bersama dengan sebelas saudara tiri laki-laki tidak semenyenangkan seperti film-film yang di tonton oleh Rana. Ada yang menerimanya sebagai keluarga mereka dan ada yang sebagian membenci kehadiran Rana. Seper...