Enam bulan berlalu begitu cepat seakan mendukung Rana untuk segera melupakannya. Semuanya berjalan baik-baik saja.
Woojin, Jinyoung dan Jihoon--mereka bertiga--sudah berhasil melaksanakan ujian nasional satu minggu yang lalu. Kini mereka tinggal menunggu hasil terbaik dari perjuangan mereka semua.
Sore ini, sepulangnya dari sekolah yang merupakan hari terakhir ujian kenaikan kelasnya, Rana harus berjalan kaki menuju rumah.
Lagi. Hubungannya dengan Guanlin sedikit merenggang. Atau bisa dikatakan memburuk. Sudah seringkali gadis itu katakan bahwa kebahagiaan yang menghampirinya tidak pernah bertahan lama.
Suatu hari, pernah Rana mengatakan kepada Guanlin bahwa sahabatnya--Samuel--memperlakukannya dengan kasar ketika Guanlin sedang tidak bersamanya.
Guanlin sudah tegaskan kalau Samuel tidak akan melakukan hal seperti karena dia sudah lama mengenal Samuel.
Guanlin dan Rana bertengkar di depan halte sekolah disaat sekolah sudah sepi dengan Guanlin yang membawa motor.
"Rana gak bohong Abang! Apa yang Rana katakan itu benar! Samuel enggak sebaik yang selama ini Abang Guanlin kira!"
"Stop it Rana! Abang gak mau dengar kamu berbicara omong kosong kamu, yang sama sekali gak berguna itu! Samuel gak akan mungkin melakukan hal kasar kepada kamu!" Tegas Guanlin sekali lagi membela sahabatnya.
"Abang lebih percaya sama Samuel daripada Rana? Abang! Aku ada buktinya!" Rana menunjukkan salah satu lengannya yang merah, "Abang harus jauhin Samuel! Ini semua demi kebaikan Abang!"
"Apa? Kebaikan Abang? Hanya karena omong kosong kamu itu, Abang harus menjauhi Samuel? Rana, ingat ini, Samuel lebih tahu mengenal semua tentang Abang daripada kamu! Samuel sudah lebih lama berada di sisi Abang sebelum kamu datang Rana! Abang gak akan pernah menjauhi Samuel sampai kapan pun itu!"
Guanlin memakai helm nya dan meninggalkan Rana di halte sekolah pada sore hari yang sepi begitu saja tanpa ada perasaan kasihan sedikitpun pada Rana karena sudah mau menunggu Guanlin rapat OSIS.
Bibir Rana mengerucut sebal pada sifat Guanlin yang tidak percayaan kepadanya.
Rana memakai tasnya dan berjalan perlahan meninggalkan halte. Baru saja Rana berjalan lima langkah meninggalkan halte, sebuah mobil hitam berhenti tepat di sampingnya.
Reflek, Rana berhenti dan memperhatikan mobil hitam tersebut dengan pandangan penuh curiga ketika dua orang laki-laki berbadan besar keluar dari dalam mobil tersebut.
Disaat Rana bersiap berlari untuk kabur, dua orang lelaki berbadan besar itu terlebih dahulu menahan tubuhnya. Mencengkeram erat lengan Rana penuh paksaan sehingga membuat Rana sedikit merintih kesakitan.
"Lepas! Lepasin!" Rana berusaha memberontak kala kedua orang itu membawanya paksa masuk ke dalam mobil.
"Diam!" Salah satu dari mereka mengeluarkan sebuah sebilah pisau yang berguna mengancam agar Rana tidak membuka suaranya.
"Tolong! Tol--"
Satu orang lainnya membius Rana sampai pingsan dan berhasil membawa Rana entah kemana dan ingin diapakan Rana nanti.
- - -
Minki memasuki kamar Mamahnya yang sudah lama tidak ia pijaki. Rumah yang sangat di rindukannya saat dia berkelana bebas di negeri orang. Dia di berikan waktu liburan selama seminggu. Dan kesempatan itu dipakai dengan baik oleh Minki untuk pulang ke rumahnya.
"Minki rindu Mamah. Minki rindu masakan Mamah." Minki bertekuk lutut di hadapan Ibunya yang memakai kursi roda.
"Syukurlah, kamu baik-baik aja. Mamah sangat khawatir bahwa kamu menyetujui permintaan Papah kamu untuk bersekolah di Australia. Mamah khawatir nantinya akan terjadi hal-hal yang tidak baik kepada kamu. Mamah sungguh khawatir." Arina--Ibu Minki--terus menyentuh penuh kasih sayang pipi anak tunggalnya yang selama ini ia rindukan.
Minki menunduk, "Maaf kalau Minki udah membuat Mamah khawatir setiap saat."
Arina tersenyum kemudian mengusap lembut rambut anak tunggalnya itu, "Kalau itu untuk kebaikan kamu sendiri, Mamah gak apa-apa di tinggal sendirian sama kamu."
Minki membalas senyuman Arina dengan hati yang penuh kedamaian setelah melihat Arina baik-baik saja.
"Kamu udah beri tahu Jonghyun, Dongho dan Aron bahwa kamu sekarang bersekolah di Australia?"
Ya. Memang kepergian Minki yang secara tiba-tiba mengambil keputusan untuk bersekolah di luar negeri tanpa memberitahukan siapapun bahkan sahabatnya sendiri kecuali pertemuannya yang tidak terduga di lorong perpustakaan dengan Rana waktu itu.
Katakan bahwa dia pengecut. Lari dalam setiap masalah yang bertamu di dalam kehidupannya. Sungguh, kini saatnya dia harus berubah demi keluarganya. Dia juga harus menutup rapat telinganya ketika semua orang membicarakan kehidupannya yang bahkan mereka tidak tahu.
"Minki belum mengabari mereka semua, tentang Minki yang bersekolah di luar negeri, kecuali...." Minki menggantung kalimatnya.
"Kecuali apa?" Tanya Arina penasaran.
"Kecuali Rana, Mah. Dia tahu bahwa Minki pindah sekolah."
"Kamu berpisah dan pamit dengan Rana secara baik-baik 'kan?"
Minki menggeleng cepat, "Enggak. Minki pamitan dan berpisah sama Rana secara enggak baik-baik. Minki memarahi Rana dan menyalahkan dia atas semua yang terjadi. Dan sekarang, kita benar-benar udah berpisah. Minki akui, Minki memang salah menjalin hubungan dengan Rana karena sebuah permainan. Kita sama-sama salah. Jadi, kita udah enggak ada apa-apa lagi dan udah gak ada lagi yang harus di jelaskan. Semuanya udah berakhir. Yang berakhir biarlah berakhir, tidak ada lagi kata kembali."
"Mamah mengerti perasaan kamu. Tapi, seenggaknya kamu harus berpisah dengan cara baik daripada kamu nanti menyesal. Lebih baik kamu istirahat. Mamah gak mau kamu sakit nantinya."
Minki menurut. Kakinya melangkah keluar dari kamar Arina dan masuk menuju kamarnya untuk istirahat.
Dia duduk di pinggiran kasur dengan salah satu tangan menggenggam sebuah SIM cards yang sudah lama dia lepas dari ponselnya. Di tatapnya kosong SIM cards tersebut.
Menarik napas panjang dan akhirnya mengambil keputusan untuk memakai SIM cards lamanya untuk menghubungi para teman-temannya yang mencari keberadaan Minki.
Setelah ponselnya menyala kembali, semua notifikasi dari media sosialnya, pesan dan beberapa panggilan, langsung terlihat menumpuk.
LINE
NEW'EST : 10.532
DONGHO : 257
ARON : 132
JONGHYUN : 198MESSAGE
ARON : 70
JONGHYUN : 54
DONGHO : 64
RANA ❤ : 20MISSED CALL
DONGHO : 53
ARON : 23
JONGHYUN : 32
RANA ❤ : 41Alis Minki tertaut heran begitu melihat notifikasi baru dari Rana yang begitu sangat banyak. Apakah Rana tahu kalau dirinya sedang berada di Indonesia sehingga mengiriminya pesan dan panggilan telepon begitu banyak?
Belum sempat lebih lanjut memikirkan alasan mengapa Rana menghubungi nya, notifikasi panggilan telepon muncul di layar kaca ponsel Minki.
Rana is Calling
Dengan segera Minki langsung menekan tombol dengan simbol gambar ponsel warna hijau menerima panggilan masuk dari Rana.
"Halo? Ini Kak Minki 'kan? Kak, tolong Rana! Ran--akkhhh! Akkkhhh! Ampun! Ampun! Tolong lepasin Rana! Rana mohon, tolong lepasin Rana! Rana mohon lepasin Ran--akkkhhh!"
Sambungan telepon terputus sepihak begitu saja yang menyisakan begitu banyak pertanyaan di benak Minki.
Untuk sementara, Minki terdiam menatapi ponselnya sendiri. Di seberang sana, dengan sangat jelas bahwa telinganya tidak salah dengar kalau Rana menangis. Menangis ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eleven Stepbrothers - Wanna One
Fanfiction| Season 1 | [Book 1] ✔ [Book 2] ✔ Hidup bersama dengan sebelas saudara tiri laki-laki tidak semenyenangkan seperti film-film yang di tonton oleh Rana. Ada yang menerimanya sebagai keluarga mereka dan ada yang sebagian membenci kehadiran Rana. Seper...