"Benar 'kan, lo Rana?"
Ditanya seperti itu oleh Guanlin, Rana cepat-cepat mengambil alih tas nya yang berada di tangan Guanlin dan lari secepat mungkin menghindarinya. Kalau perlu, menghilang dari Guanlin.
Tidak mau menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi serta penyesalan yang tiada henti menghantui pikirannya, Guanlin pun lari mengejar Rana. Guanlin sudah tidak memikirkan dirinya yang ingin sangat buang air kecil. Dia tak peduli akan hal itu lagi.
Beruntung Guanlin mempunyai kaki yang panjang. Ternyata berguna juga untuk berlari. Buktinya dia dengan sangat mudah bisa mengejar Rana dan mendapatkan nya kembali.
"Kenapa lo lari, Rana?" Guanlin bertanya disaat napasnya tidak beraturan akibat kelelahan berlari mengejar Rana.
"Kalian sudah bahagia. Dan itu tandanya, Tuhan mendengar doa Rana." Penjelasan Rana sama sekali melenceng dari pertanyaan yang di ajukan Guanlin.
"Apa hubungannya dengan lo yang lari dari gue, Rana?"
"Aku harus melakukannya. Rana harus melakukan itu."
"Melakukan apa Rana? Melakukan apa?!" Guanlin sedikit membentak Rana.
"Melakukan segalanya demi kalian semua bisa bahagia! Mengorbankan segalanya demi kalian semua bisa bersama lagi!"
"Seburuk itukah, sebrengsek itukah gue di mata lo?" Kali ini, nada bicara Guanlin berubah menjadi serius.
Ketika melihat mata Guanlin dari jarak dekat seperti ini, mengingatkan Rana akan memori kelam betapa kasarnya perlakuan, betapa dinginnya sikap Guanlin kepadanya.
"Ya! Abang itu brengsek gila yang gak punya otak sama sekali!"
Bukan perkataan buruk menjelekkan Guanlin yang ingin Rana keluarkan. Itu hanya penyamarannya kalau dia sekarang sudah membenci Guanlin dan keluarganya. Kenyataannya, Rana tidak bisa membenci Guanlin apalagi keluarganya itu.
Perasaan Rana berkecamuk tidak karuan diantara keraguan yang melekat dalam dirinya. Dia sudah tidak bisa menahan untuk lebih lama lagi. Dia ingin melampiaskan semuanya pada Guanlin. Air matanya. Perasaannya. Kecewanya.
"Kemana aja Abang selama ini, hah?! Kenapa baru sekarang Abang menyadari kesalahan Abang?! Semuanya terlambat tahu gak! Dan kenapa baru sekarang Abang ingin memperbaiki semua kesalahan Abang disaat sudah tidak ada lagi yang bisa untuk di perbaiki?! Kenapa baru sekarang, Abang?! Kenapa?! Jawab Rana Abang!"
Emosinya meluap seperti ombak besar yang menyapu bersih daratan. Hujan lebat turun dari langit setelah setetes air matanya terjatuh. Tangisan nya menjadi deras seiring hujan turun membasahi bumi. Suara tangisan kecewa nya terhalang oleh sebuah bunyi petir dan geluduk di sore mendung saat itu.
"Kalian semua egois! Ternyata Rana salah, sudah terlalu banyak berharap pada kalian! Dengan kembalinya Rana ke Jakarta, Rana pikir, Rana bisa berbahagia dengan kalian semua. Tetapi, hanya kalian saja yang bahagia. Benar apa kata orang-orang, kenyataan tidak seindah imajinasi. Apa imajinasi Rana bisa berbahagia bersama kalian adalah hal yang mustahil? Enggak 'kan?! Kalau Abang Guanlin tahu, Rana sangat menderita! Rana cemburu dan iri ketika melihat pasien seperti Rana selalu di dampingi sama keluarganya."
Jika mengingat dimana usaha kerasnya berjuang melawan penyakit langka nya itu, seluruh sel dan saraf yang bekerja di otaknya mendadak blank. Kosong. Dia berjuang sendirian. Seharusnya disaat seperti itu, seseorang mendukungnya.
Inilah saatnya Guanlin membela dirinya atas semua tuduhan yang diberikan kepadanya. Menyangkal bahwa tidak sepenuhnya benar yang Rana ucapkan tadi.
"Lo gak berubah juga ya Ran, dari dulu sampai sekarang. Hebat." Guanlin tertawa renyah atau bisa dibilang menyeringai menertawakan Rana rendah di matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eleven Stepbrothers - Wanna One
Fanfiction| Season 1 | [Book 1] ✔ [Book 2] ✔ Hidup bersama dengan sebelas saudara tiri laki-laki tidak semenyenangkan seperti film-film yang di tonton oleh Rana. Ada yang menerimanya sebagai keluarga mereka dan ada yang sebagian membenci kehadiran Rana. Seper...