40 - Keputusan dan Kepergian

2.8K 463 136
                                    


Jinyoung

Bang. Guanlin pingsan di depan pintu masuk rumah.

Tanpa berniat membalas pesan dari Jinyoung yang hanya akan memperlambat waktu, Daniel langsung mencari kontak adiknya itu kemudian meneleponnya.

"Bang! Guanlin pingsan! Dan gue gak tahu apa yang harus gue lakuin sekarang!"

"Apa lo gak bisa pindahin Guanlin ke tempat tidur?"

"Ini parah Bang! Bukan pingsan kayak biasanya! Banyak darah dimana-mana. Dan gue lihat ada sebuah batu besar dan stick golf di sekitar tempat Guanlin pingsan!"

Daniel terlihat mengusap tengkuknya. Ia sedikit frustasi dengan semua takdir kejutan Tuhan untuk dia hadapi. Belum juga masalah penyakit Rana selesai, dan sekarang di tambah dengan masalah Guanlin yang tiba-tiba pingsan dengan darah dimana-mana.

Mencoba untuk tetap tenang dan tidak panik, Daniel berpikir keras berusaha menemukan jalan keluar tanpa ada satu pihak yang tersakiti.

"Lo udah telepon ambulance buat dateng ke rumah?"

"Udah Bang!"

Daniel terdiam membuat Jinyoung di seberang sana terheran-heran.

"Bang Daniel? Lo kok diem sih Bang?! Apa lo gak ada niatan buat pulang sekarang juga setelah lo tahu bagaimana kabar Guanlin?!"

"Gue gak bisa pulang sekarang. Gue har--"

"Harus apa Bang? Harus jaga Rana disana? Begitu?"

"Bukan begitu maksud gue. Rana benar-benar lagi butuh gue disini."

"Tapi, Guanlin lebih butuh lo dibanding Rana, Bang!"

Perkataan Jinyoung merupakan tamparan keras bagi Daniel. Haruskah dia memilih salah satu dari mereka? Lalu meninggalkan sendiri di antaranya?

"Bang Daniel! Jawab gue Bang! Kenapa lo cuma diam, Bang? Lo gak bisa ninggalin Rana sendirian disana 'kan?"

"Jinyoung, dengarin gue. Untuk sementara, gue gak bisa pulang ke Jakarta hari ini juga. Ada hal yang belum selesai di sini."

"Bang, cuma lo dan gue yang tahu keadaan Guanlin. Yang lain bahkan Bang Jisung aja gak tahu tentang masalah ini. Apa lo gak khawatir Bang, sama Guanlin dan hanya mengkhawatirkan Rana? Apa lo udah gak sayang lagi sama Guanlin yang jelas-jelas dia adalah adik kandung lo sendiri?"

"Gue mohon, lo jangan memperburuk keadaan. Dan jangan coba-coba lo bawa Rana masuk ke dalam masalah ini. Dia sama sekali gak ada hubungannya dengan ini. Rasa sayang dan khawatir gue ke Rana dan Guanlin itu sama rata. Gue gak pernah membandingkan mereka. Kalau mereka salah, gue harus marah. Itu prinsip gue buat kalian."

"Lo gak usah banyak bacot Bang. Guanlin gak butuh semua bacotan lo itu. Dia cuma butuh kehadiran lo doang. Itu aja juga udah cukup buat dia. Terserah lo mau pulang atau enggak. Keputusan ada di tangan lo."

Tuhan sepertinya menciptakan takdir kehidupan mereka seperti sebuah kaset dengan pita kusut yang kemudian di benarkan lalu kembali seperti semula. Seperti kaset dengan pita kusutnya.

Daniel benar-benar ragu saat ini. Haruskah dia tetap di Bali menemani Rana dengan penyakit misterius nya itu atau pulang ke Jakarta berada di samping Guanlin?

Suara dering telepon membuyarkan Daniel yang sedang berkelebat dengan semua pikiran bimbang nya itu.

Lucas.

Nama itulah yang pertama kali muncul di layar ponsel miliknya itu. Daniel menatap tak suka nama itu saat mulutnya tidak sengaja membacanya.

"Ada apa?" Dengan malas-malasan mengangkat telepon dari Lucas, Daniel bertanya.

Eleven Stepbrothers - Wanna OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang