Setelah menghabiskan satu malam di puncak, semua kakak-kakak nya kembali lagi pada kegiatan masing-masing.
Beraktivitas seperti biasa. Kembali menjadi seorang pejuang. Berjuang untuk kariernya sendiri dan untuk keluarga.
Semua kakak-kakak Rana, berharap dengan liburan bersama ke puncak akan membuat Guanlin dekat dengan Rana. Nihil. Sebaliknya.
Guanlin makin membenci Rana karena Rana tidak sengaja membuat bola basket Guanlin jatuh ke sungai saat dia meminjamnya dari Guanlin.
Guanlin yang mengetahui hal tersebut lantas memarahi, mencaci maki Rana habis-habisan dengan kata-kata kasar dan umpatan, bahkan kata 'Jalang' pun sesekali keluar dari mulut Guanlin.
Dengan teganya, Guanlin menarik kasar rambut Rana.
"Lo itu gak ada bedanya sama Ibu lo itu! Sama-sama jalang tahu gak!" Guanlin tertawa merendahkan di akhir bicaranya.
"Abang boleh hina aku. Tapi, jangan pernah sekalipun Abang menghina Bunda! Itu sama saja Abang menghina almarhumah Ibu Abang sendiri!"
Plak
Tidak ada lagi Guanlin yang ceria dan baik hati. Tidak ada lagi Guanlin yang sopan kepada semua orang. Tidak ada lagi Guanlin yang selalu bersikap manis pada keluarganya.
Amarahnya kala itu memuncak. Selama ini Guanlin sudah sabar menahan diri agar tidak menampar Rana.
Namun, untuk pertama kalinya, melanggar janji pada almarhumah Ibunya agar tidak bersikap kasar pada perempuan, Guanlin dengan beraninya menampar Rana yang notabenenya adalah seorang perempuan.
Tangan kotor yang sudah menampar pipi seorang perempuan yang tidak bersalah, membuat seluruh tubuh Guanlin membeku. Begitu pula tangannya yang kelu.
Rana memegang pipinya yang sakit sambil menatap nanar Guanlin dengan air matanya yang terus menetes. Tersirat kekecewaan Rana pada Guanlin dari manik matanya.
"Abang Guanlin adalah orang pertama yang menampar Rana. Bahkan, Bunda dan almarhum Ayah sekalipun tidak berani menampar Rana! Sebegitu bencinya kah, Abang pada Rana? Sebegitu hina kah, Rana di mata Abang?! Apa mau Abang? Abang mau, Rana mati?! Jika emang itu mau Abang, Rana siap M.a.t.i untuk Abang!"
Sungguh. Bukan akhir seperti ini yang Rana inginkan. Jauh dari ekspektasi nya.
"Seandainya lo dan Bunda lo yang pelakor itu gak datang ke dalam kehidupan keluarga gue, Abang-abang gue gak akan membenci gue sekarang! Bunda lo gak pantes buat menggantikan posisi almarhumah Ibu gue! Bunda lo terlalu kotor berada di posisi tersebut!"
Hati Rana semakin sakit ketika harus mendengar perkataan hina yang di layangkan untuk Bundanya yang tercinta.
Mata merahnya menjadi saksi bisu betapa menusuknya perkataan yang setiap keluar dari mulut Guanlin.
"Dimana letak hati Abang? Apa Abang pantas disebut manusia?" Jujur, Rana kali ini menangis jauh lebih menyakitkan daripada tangisan yang sebelumnya.
"Gue gak sudi di panggil 'Abang' sama jalang murahan kayak lo. Satu lagi. Gue akan sangat senang kalau lo mati! Camkan itu!"
Guanlin melenggang pergi begitu saja meninggalkan Rana dengan sebuah luka yang amat menyakitkan. Guanlin yang membuat luka itu bersarang di hati Rana. Tanpa penyesalan apapun, dengan sombongnya, Guanlin berjalan masuk ke dalam villa.
Rana menghela napasnya di depan cermin saat melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.
Menyedihkan.
Satu kata itu mungkin sudah bisa mendeskripsikan siapa dirinya.
Rana menepuk kedua pipinya untuk memberikan semangat pada dirinya sendiri.
"Oke Rana. Lupain kejadian di puncak waktu itu. Lo harus tersenyum dan kuat untuk orang-orang yang menyayangi lo! Fighting!"
Rana bersyukur saat dia dan Guanlin bertengkar hebat di lapangan saat langit berwarna jingga kala itu, semua Abangnya tidak mengetahuinya karena mereka semua sedang berada di kebun teh.
Sekali lagi, Rana merapikan seragam sekolahnya lalu beranjak keluar dari kamar melangkah mantap untuk seperti Rana yang biasa. Dia yakin, semuanya pasti akan berakhir.
Dan Rana yakin kalau Tuhan tidak akan pernah membiarkan dirinya bersedih selalu.
- - -
Tiada hari tanpa membully Rana. Kata itu mungkin tepat untuk teman-teman kelasnya yang tidak menyukai keberadaan Rana hanya karena memiliki Kakak yang tampan dan terkenal.
Mulai hari ini, Rana akan menepati janji nya dengan para Abangnya jika dia sedang di bully, Rana harus berani melawan mereka semua.
Mereka mengatakan, seorang pembully jika di biarkan begitu saja, mereka akan seperti itu selamanya.
"Sekarang, lo udah berani lawan gue?" Salah satu teman Rana bernama Nancy, mendorong tubuhnya hingga terbentur keras dinding toilet perempuan.
"Lo berani lawan kita semua dan reputasi Guanlin sebagai ketua OSIS akan hancur? Ck!" Teman Rana satu lagi yang bernama Jane tertawa memandang rendah Rana.
Perkataan temannya memang benar. Jika dia melawan dengan kekuatan fisik dan menyebabkan mereka semua terluka, reputasi Guanlin sebagai ketua OSIS pasti akan hancur seketika.
"Gue gak peduli kalau reputasi Abang gue akan hancur atau enggak! Gue melawan kalian semua karena gue ingin keadilan di sekolah ini di tegakkan!"
Byur
Anak buah Nancy dan Jane menyiram Rana dengan air bekas pel-an yang sangat kotor dan juga menjijikkan.
"Kalau lo mau menegakan keadilan, tempatnya tuh di peradilan! Bukan disini! Lo itu cuman adik tiri Abang-abang lo semua! Jadi, lo gak perlu bangga. Lo itu hanya sekedar sampah yang gak berguna sama sekali!" Nancy menendang lutut Rana dengan keras hingga membuat Rana berlutut kepadanya.
Nancy tidak puas dengan Rana yang hanya berlutut padanya.
Dia ingin mainannya sujud minta ampun di hadapannya.
Di tariknya kasar rambut Rana ke belakang hingga membuat Rana mendengak menatap Nancy.
"Lo itu anjing gue Rana. Sebagai anjing yang baik, lo harus nurut sama tuannya. Lo tau 'kan, kalau gak nurut sama tuannya bakalan dapet hukuman?" Nancy tersenyum ketika ia memenangkan permainan ini.
"Jadi, percuma aja lo melawan gue, Rana si anjing yang penurut. Lo gak akan pernah bisa untuk melawan gue. Ingat itu baik-baik."
Disaat Nancy hendak menampar Rana, sebuah flash kamera datang entah dari mana memotret mereka yang ingin menampar Rana.
Ckrek
Nancy, Jane dan juga para antek-anteknya terkejut melihat siapa yang dengan santainya bersandar pada pintu masuk toilet perempuan memotret mereka yang membully Rana.
Sekuat apapun Rana mencoba untuk tidak menangis, pada akhirnya dia pun hanya bisa menangis, menangis dan menangis. Menyusahkan orang lain, sudah menjadi bagian dari kehidupannya.
Rana hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia sama sekali tidak peduli siapa yang menolongnya. Toh, pasti orang yang ingin menolongnya pasti selalu berujung membully dirinya sendirian.
"Lo itu masih pada bocah udah berani ngebully. Ck! Lebih baik kalian belajar sana. Kasian gue sama orang tua lo semua yang udah besarin anak gak tahu diri kayak lo semua. Pengecut."
lanjut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Eleven Stepbrothers - Wanna One
Fiksi Penggemar| Season 1 | [Book 1] ✔ [Book 2] ✔ Hidup bersama dengan sebelas saudara tiri laki-laki tidak semenyenangkan seperti film-film yang di tonton oleh Rana. Ada yang menerimanya sebagai keluarga mereka dan ada yang sebagian membenci kehadiran Rana. Seper...