Aroma wangi yang menggugah selera dari daging yang sedang di panggang di atas bara api menyala itu, mengundang dua saudara bertengkar kecil.
"Pokoknya, ini daging, punya gue! Milik gue! Titik! Gak boleh ada yang minta!" Seru nya pada semua yang berada di halaman depan rumah mereka yang begitu luas itu.
"Apa-apaan sih lo Bang! Gak bisa gitu dong! Yang beli daging 'kan gue, masa iya daging nya buat lo semua." Protes si adik yang paling terakhir.
"Tapi, yang beli daging ini pake uang siapa??? Pake uang gue 'kan? Suka-suka hati gue dong ini daging mau gue apain." Imbuhnya lagi.
"Gue sumpahin, lo makin tambah item!"
"Amin." Sontak, semua saudara mereka mengamini sumpah yang keluar dari mulut adik terkecil mereka.
"Eh anjir kurang ajar nyumpahin gue tambah item! Sialan! Dasar adek laknat! Gue sumpahin lo jadi bantet kayak si Sungwoon!"
"Gue tinggi bangsat! Kalian nya aja yang terlalu ketinggian, makanya gue kelihatan bantet." Kakak tertua kedua membela dirinya.
"Percuma kalau punya badan tinggi kalau gak punya baby face." Anak ketujuh dari sebelas bersaudara itu dengan bangga menyombongkan kelebihan dirinya.
"Najis. Bangga banget punya baby face. Kayak gue dong. Handsome face." Kakak tertua yang keempat pun sama membanggakan dirinya kalau dia sangat tampan dan lebih tampan daripada saudara-saudaranya.
"Bangga banget dah perasaan punya baby face sama handsome face. Kalau otak lo bego, tetep aja lo bego. Percuma Ganteng-Ganteng tapi Bego."
"Untung gue pintar." Itu suara dari Jaehwan. Yang paling suka bernyanyi diantara yang lain bahkan sudah tengah malam pun dia masih saja bernyanyi dengan nada tingginya itu.
"Eh si Daehwi sialan banget ya jadi adek. Ngomong gak di saring dulu." Seongwoo menceletuk.
"Teh kali ah pake di saring." Anak kesembilan pun ikut menceletuk seperti kakaknya.
Ujungnya mereka jadi saling meledek satu sama lain. Berkejar-kejaran kesana kemari membuat semua orang yang ada disana kewalahan dengan tingkah laku kekanakan mereka.
Sang kakak tertua marah begitu jagung bakar yang dia pegang--sedang di olesi saus pedas--terlepas dari tangannya.
"Woojin! Guanlin! Berhenti!"
Suara khas Jisung ketika marah itu mengisi keramaian malam tahun baru di keluarga besar tersebut yang berhasil membuat suasana tidak menjadi ramai lagi. Sepi dan sunyi seperti di pemakaman.
"Kalian semua itu udah pada dewasa! Kalian sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik! Menjelek-jelekkan saudara kandung kalian sendiri itu bukan sebuah lelucon yang pantas di tertawakan!"
Jisung menatap tajam satu persatu mata para saudaranya yang kini sudah berbaris samping-sampingan di hadapannya.
"Lo sih Bang yang mulai." Bisik Jinyoung ke Jaehwan.
"Lah, kok jadi gue sih yang kena?" Jaehwan tidak terima di salahkan hingga suaranya melengking memecah keheningan.
"Woy bakpau, bacot tolol!" Sungwoon memperingati Jaehwan agar tidak bersuara lantang apalagi menggerutu di depan Jisung yang sedang marah.
"Jaehwan, Jinyoung, Sungwoon! Diam kalian!"
Tanpa harus menunggu Jisung lebih marah lagi, ketiganya kompak dan serentak menundukkan kepala mereka. Merenungi kesalahan yang telah mereka lakukan.
"Untuk Woojin dan Guanlin, kalau kalian mau bercanda harus lihat tempat dan kondisi! Terutama Guanlin. Kamu harus sopan kepada kakak kamu. Dan bagi kalian yang merasa menjadi kakak, ajarkan adik-adik kalian berbicara yang baik!"
Guanlin tidak menundukkan kepalanya. Itulah yang membuat Daehwi yang ada di sebelahnya berbisik pelan agar menundukkan kepalanya.
"Sst! Guanlin! Nunduk!" Masih dalam mata tertutup dan menunduk, Daehwi tetap mengatakan pada Guanlin.
"Ayah..." Kata itu berasal dari mulut Guanlin tanpa sengaja.
"Ayah?" Daehwi langsung mengangkat kepalanya dan ia tersenyum senang melihat orang yang di rindukan ada di depan matanya.
"Ayah!"
Kekompakan mereka sebagai saudara sudah tidak perlu di ragukan. Buktinya, mereka serempak dan bersama-sama meneriaki kata Ayah saat mata mereka melihat sosoknya di depan mereka.
Jisung membalik badannya. Betapa terkejutnya juga dia mendapati kehadiran Ayah mereka bersama mereka lagi.
Jisung langsung memeluk Ayahnya.Sungwoon, Seongwoo, Jaehwan, Jihoon, Woojin, Jinyoung, Daehwi dan tentunya Guanlin, mereka berdelapan menatap satu sama lain dengan senyuman jahil. Mereka ternyata satu pikiran.
Mereka langsung berlari ke Ayah dan menyerbu memeluk Ayah hingga Jisung terhimpit dan juga Ayah terdorong ke belakang.
"Kita semua sayang banget sama Ayah!"
"Rindu Ayah!"
"Cinta Ayah!"
Ayah hanya bisa tersenyum bahagia. Dia beruntung memiliki sebelas anak laki-laki yang dewasa penuh pengertian itu.
"Masa cuma Ayah doang sih yang di peluk? Bundanya gak kalian peluk nih?"
Mereka semua tersenyum lalu beralih bergantian memeluk dan melepas rindu pada Bunda. Selepas acara melepas rindu, mereka semua hampir melupakan sosok dua orang yang dibawa oleh Ayah dan Bunda ke rumah.
"Hei, Niel! Apa kabar lo?" Seongwoo yang pertama kali bertanya pada Daniel yang baru saja pulang dari Jerman.
Yang ditanya, hanya bisa sebatas tersenyum tidak menjawab pertanyaan itu lewat perkataan dan suaranya. Seongwoo bisa mengerti itu.
Tanpa di sengaja, mata Guanlin dan Minhyun bertemu. Mereka saling menatap satu sama lain untuk beberapa waktu. Guanlin tahu apa yang dipikirkan Minhyun.
Lima detik kemudian, Guanlin mengangguk dan tersenyum untuk Minhyun. Dia sudah memaafkan Minhyun dan melupakan kejadian waktu itu.
Daniel tidak berbicara atau sekadar menanyakan kabar pada saudaranya itu. Dia memandangi halaman depan rumahnya yang begitu indah dengan lampu kelap-kelip berbagai warna yang menerangkan di akhir malam pergantian tahun yang tinggal beberapa menit lagi.
Sesekali bibirnya terangkat. Tersenyum memandangi semuanya telah kembali seperti semula. Seperti yang seharusnya.
Daniel berjalan satu langkah ke depan. Indera penglihatannya mendapati seorang perempuan yang berdiri melihat dari gerbang rumahnya yang terbuka sedikit. Perempuan itu kabur saat Daniel mengetahuinya.
Mengejar perempuan itu tidaklah mudah bagi laki-laki dengan pundak lebarnya itu. Butuh dua menit sampai Daniel akhirnya berhasil memegang lengannya. Menahan supaya perempuan itu tidak kabur lagi.
Hati perempuan itu mencelos pun dengan raganya begitu mendengar Daniel berbicara seperti itu kepadanya.
Suara kembang api di langit sana yang sedang menghiasi pergantian tahun baru, tak menulikan pendengaran perempuan itu saat Daniel berbicara seakan dirinya bukanlah siapa-siapa Daniel. Bukanlah orang yang spesial bagi Daniel.
"Kamu siapa?"
: : : : : : : : : :
ada yg sadar klo di bab prolog book 2, adalah tgl 31 Desember ?
.
ada yg ingat, hari apakah tgl 31 Desember itu ?
KAMU SEDANG MEMBACA
Eleven Stepbrothers - Wanna One
Fanfiction| Season 1 | [Book 1] ✔ [Book 2] ✔ Hidup bersama dengan sebelas saudara tiri laki-laki tidak semenyenangkan seperti film-film yang di tonton oleh Rana. Ada yang menerimanya sebagai keluarga mereka dan ada yang sebagian membenci kehadiran Rana. Seper...