Ayah dan Bunda kembali pergi lagi ke Inggris. Mengurus pekerjaan yang ada disana katanya. Tahun depan mungkin mereka akan pulang. Entah mereka pulang untuk siapa. Yang pasti, dan pasti mungkin terjadi, mereka pulang bukan untuk Rana.
Bandara Ngurah Rai Bali begitu ramai dipenuhi oleh para wisatawan asing yang datang maupun meninggalkan Bali. Bali memang sudah terkenal dan tak asing lagi bagi para pelancong asing yang memiliki hobi berpergian ataupun berpetualang di setiap negara.
Diantara keramaian dan kebisingan Bandara Ngurah Rai, terlihat seorang perempuan datang ke Bali untuk meninggalkan kisah menyedihkannya yang ada di Jakarta.
Ternyata perempuan itu datang ke Bali tidak sendirian. Disampingnya ada sosok laki-laki--yang mungkin menurut orang-orang bahwa mereka kakak-beradik--menemaninya datang ke Bali. Dan Bali adalah rumahnya. Tempatnya berpulang.
Mereka berdua celingak-celinguk sekitar. Seperti sedang mencari seseorang untuk menjemput mereka di bandara.
"Kak Uka yakin dia datang jemput kita?"
"Kamu lelah ya Ran? Kalau kamu lelah, kamu duduk dulu aja. Saya mau cari dia sebentar. Kalau kita pulang naik taxi, biayanya pasti mahal. Rumah saya lumayan jauh dari bandara."
"Kita berdua sama-sama lelah Kak, karena jarak Jakarta ke Bali itu gak seperti jarak Jakarta ke Bandung. Rana akan bantu Kak Uka cari dia. Maaf ya, Rana ngerepotin Kak Uka sama keluarga Kakak."
Lucas menghela napas. Dia menarik koper dan tangan satunya lagi menarik lengan Rana menuju kursi tunggu keberangkatan. Lucas mendudukkan Rana di kursi tunggu itu.
"Rana, kamu dengar. Kita pergi ke Bali untuk membuat cerita yang baru. Cerita yang benar-benar kamu buat sendiri. Saya diberi amanat sama Bunda kamu untuk menjaga kamu di Bali. Dan sekarang kita udah di Bali. Dan itu artinya, tanggung jawab saya untuk menjaga kamu itu sudah berlaku. Saya gak mau menjadi orang munafik hanya karena gak bisa menjalankan sebuah amanat. Dan satu lagi. Jangan pernah kamu meminta maaf lagi ke saya. Kamu gak punya kesalahan apapun kepada saya. Jadi, stop it! Saya cuma mau, kamu menikmati cerita baru kamu disini. Itu saja. Saya gak pernah menuntut kamu lebih untuk melakukan ini itu. Saya hanya ingin kamu bahagia. Itu saja sudah cukup untuk saya. Paham?"
Rana mengangguk mengerti. Setelah berhasil membujuk Rana untuk menunggunya mencari seseorang, Lucas meninggalkan Rana yang hanya ditemani oleh beberapa koper besar dan buku harian berwarna putih yang merupakan hadiah dari Minki untuknya yang tak pernah lepas dari genggaman kedua tangannya.
Sekarang, buku harian berwarna putih itulah yang setia menjadi teman hidupnya.
Lima belas menit Lucas tak kunjung datang juga. Daripada bosan terus menunggu seperti orang yang tidak memiliki tujuan hidup, Rana memutuskan untuk pergi ke Kafetaria yang ada di bandara membeli kopi dan juga beberapa makanan ringan.
Saat dia sudah berdiri, Rana mendengus sebal. Dia baru ingat kalau semua koper ada padanya. Kalau dia pergi, siapa yang akan menjaga koper-koper itu?
"Menyebalkan!"
"Ini 'kan, yang kamu mau?"
Rana menoleh. Seseorang menyodorkan kopi dan roti. Bagaimana orang itu tahu, kalau dirinya sedang ingin itu?
Tak menerimanya. Hanya menatap kosong roti dan kopi itu. Rana tidak semudah itu untuk menerima makanan dari orang yang tidak di kenalnya.
Orang itu mendengus. Dia melepaskan maskernya yang menutupi sebagian wajahnya itu. Setelah masker itu bebas dari wajahnya, betapa terkejutnya Rana dengan orang yang memberinya kopi dan roti itu.
"Abang Daniel?! Abang Daniel kok bisa ada disini?! Abang ngapain?!"
Daniel tak menjawab. Dia terus mendengus kesal karena Rana tidak mengenalinya setelah perjalanan panjangnya yang membuat seluruh tubuhnya remuk dan hancur.
"Ambil dulu kopi sama rotinya. Abang gak mau kamu kenapa-kenapa. Apalagi setelah perjalanan panjang kamu. Abang gak mau kamu kelelahan dan ujung-ujungnya kamu jatuh sakit."
Sekarang Rana menerima roti dengan kopi itu dari orang yang tidak dikenalnya. Ralat. Orang yang sangat dikenalnya.
"Jawab pertanyaan Rana. Kenapa bisa Abang Daniel ada disini? Di Bali?"
"Abang mau menemani kamu."
Mata Rana membelalak, "Udah? Itu doang alasan Abang ada disini?"
Daniel mengangguk, "Iya."
"Lalu, Abang berhenti kuliah demi bisa ada disini, begitu?"
Daniel mengangguk lagi, "Iya."
"Bodoh. Abang Daniel bodoh."
"Kamu benar Ran. Abang memang bodoh. Bodoh sampai berhenti kuliah padahal sebentar lagi mau lulus hanya demi seorang perempuan. Dan perempuan itu adalah kamu, Rana."
Mulut Rana terkunci. Seakan-akan dia telah kehabisan kata. Padahal banyak sekali rangkaian kata yang ada di muka bumi ini. Sepertinya dia telah salah bicara yang akhirnya menyinggung perasaan Daniel.
"Rana minta maaf kalau menyinggung perasaan Abang. Sorry."
Senyum merekah terlihat di bibir Daniel. Dia mencubit gemas pipi Rana.
"Abang bercanda kali. Gak mungkin Abang tersinggung dengan kata-kata kamu. Tapi perkataan kamu emang ada benarnya juga sih kalau Abang itu bodoh. Abang sebentar lagi mau skripsi, tapi malah pilih berhenti dan keluar dari kampus dan lebih milih pergi ke Bali menemui kamu. Gak apa-apa. Hitung-hitung sebagai liburan. Hehehe."
"Andai aja ada Thor yang datang ke Bali."
"Seandainya Thor benar datang ke Bali, kamu mau apa emangnya?"
"MAU PINJAM PALUNYA BUAT PUKUL KEPALA ABANG DANIEL SAMPAI BENJOL!"
"Waduh, Nyonya Rana sedang marah. Sepertinya anda lapar Nyonya Rana. Silahkan dimakan lalu dihabiskan rotinya yang saya belikan khusus untuk anda, wahai Nyonya Rana." Kata Daniel menggoda Rana.
"Abang Daniel ihhh!!!"
Daniel tertawa lepas melihat Rana merajuk kepadanya. Menggoda Rana adalah kesukaannya. Sepertinya, menggoda Rana adalah hobi baru Daniel sekarang.
"Udah-udah. Sekarang kamu makan roti itu supaya kamu gak lemas."
Selagi Rana memakan roti, keheningan menyapa mereka. Hanya suara-suara sepatu atau sendal dari para orang-orang yang berlalu lalang di depannya yang kini terdengar.
"Gimana keadaan rumah setelah Rana pergi, Bang? Pastinya mereka senang dan bahagia 'kan?" Tanya Rana membuyarkan Daniel yang sedang melamun.
"Gak ada yang berubah dengan rumah. Yang berubah hanya suasana nya aja. Rumah begitu sepi setelah kamu meninggalkannya Ran."
"Begitu sepi karena tidak lagi mendengar suara pertengkaran dan tangisan."
Kalimat barusan sangat menohok hati Daniel. Kalimat itu ibarat anak panah yang tepat sasaran setelah di lepaskan dari panahan. Itulah perasaan Daniel sekarang.
Kecanggungan diantara Daniel dan Rana berakhir begitu Lucas datang setelah lama mencari seseorang yang menjemput kedatangan Lucas dengan Rana ke Bali. Dan jangan lupakan orang yang menjemput Lucas kini bersama Lucas di sampingnya.
"Daniel? Kamu kenapa bisa ada di Bali? Ayah dan Bunda tahu tentang kepergian kamu ke Bali?" Kata Lucas begitu penglihatannya menunjukkan ada Daniel yang duduk bersebelahan dengan Rana.
"Bukan urusan lo Ayah dan Bunda tahu atau enggak gue pergi ke Bali. Gue ke Bali cuma mau menemani Rana. Gue gak bisa percayain Rana begitu aja sama orang asing. Apalagi orang asing tipe bar-bar kayak lo!" Perkataan Daniel terdengar dingin namun menusuk.
Lucas harus bisa bersabar sebanyak mungkin untuk menghadapi spesies macam Daniel yang dimana masanya sedang proses menjadi dewasa tetapi mencoba tidak labil dan menghilangkan sifat kekanak-kanakan.
"Ini Jaehyun. Kakak saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eleven Stepbrothers - Wanna One
Fanfiction| Season 1 | [Book 1] ✔ [Book 2] ✔ Hidup bersama dengan sebelas saudara tiri laki-laki tidak semenyenangkan seperti film-film yang di tonton oleh Rana. Ada yang menerimanya sebagai keluarga mereka dan ada yang sebagian membenci kehadiran Rana. Seper...