BaG #24 Sahabat terbaik

53.5K 3.1K 20
                                    

Satu-satunya hal yang membuat Rafa sedikit berlega hati atas kejadian dua hari lalu, adalah Papanya yang tidak melakukan kekerasan fisik pada Mamanya. Bu Imah menangis saat itu karena Gustomi menghempaskan Gita saat menahan tangannya menghancurkan barang, hingga paha Gita kena tepian bufet dan lututnya terbentur di atas lantai. Bu Imah yang melihat itu bersedih sebab tak dapat berbuat apa-apa, hingga akhirnya Rafa datang.

Semenjak peristiwa itu Rafa tak masuk sekolah, ia menjadi pribadi yang lebih banyak merenung dua hari ini. Rasa kecewa yang begitu besar tertanam dalam hati Rafa, bersama dengan rasa khawatir yang mengiringi. Rafa takut jika Papanya kembali ke rumah dan menyakiti Mama juga adiknya. Cukup Rafa saja yang merasakan bagaimana sakitnya ketika di campakkan secara nyata.

Masih tergambar jelas di bayangan Rafa bagaimana saat ia bermohon, bersujud, hingga mengejar Papanya ke tengah jalan tanpa sedikit saja pria itu menoleh. Tapi tak lagi, peristiwa itu cukup menjadi yang pertama bagi Rafa juga terakhir. Rafa tak ingin dikecewakan dua kali.

Alasan lain Rafa tak masuk sekolah juga karena ia ingin menenangkan diri. Karena jika ia belajar dalam keadaan pikiran berkecamuk, maka siapa saja akan menjadi pelampiasan kemarahannya. Dan yang paling berpotensi mendapat semprotan Rafa, sudah pasti Jico, Zaki, dan Dandi, walau mereka tak bersalah sekalipun. Maka dari itu Rafa menenangkan diri di rumah, membiarkan kepalanya jernih sebelum kembali beraktifitas di sekolah.

''Kak?''

Rafa menoleh ke arah pintu penghubung antara dapur dan ruang tengah. Di sana adiknya berdiri memanggil Rafa sambil memegang tirai pintu.

''Kenapa?'' Tanya Rafa sambil menyeka tangannya ke serbet yang tergantung atas wastafel, ia baru saja selesai mencuci piring.

''Itu... di depan ada Kak Dandi.''

Rafa langsung menoleh ke arah jam dinding di atas kalender dekat lemari. Sudah pukul Tiga sore, waktunya Tunas Bangsa keluar. Ternyata Dandi langsung mampir ke rumah Rafa setelah pulang sekolah.

''Nanti Kakak samperin. Kamu suru duduk aja dulu.''

Gita mengangguk dan langsung pergi.

Sebelum keluar bertemu dengan Dandi, Rafa berkaca di wastafel lebih dulu, membasuh wajah dan mengikat rambutnya. Rafa tak ingin Dandi melihatnya berantakkan. Ia tahu sekali bagaimana watak Dandi, ia pasti akan bertanya-tanya masalah apa yang menimpanya. Padahal Rafa berusaha untuk menyembunyikan masalah keluarganya pada orang lain. Sebab Rafa tak ingin membebani siapapun, termasuk itu sahabat-sahabatnya.

Rafa menuju ruang tamu setelah melihat wajahnya cukup baik. Tapi ruang tamu kosong, Rafa lalu melihat ke depan, ternyata Dandi sedang berbicara dengan Bu Imah di kursi teras.

''Dan, kok gak masuk?'' Tanya Rafa sambil melihat Dandi dari ambang pintu.

Bu Imah dan Dandi kompak menoleh padanya.

''Di luar lebih enak. Bisa liat bunga-bunga.'' Jawab Dandi terkekeh pelan. ''Iya gak Ma?'' Dandi menatap Bu Imah yang mengangguk sambil tersenyum.

Dandi memang memanggil Bu Imah dengan panggilan Mama sedari kecil. Mereka bahkan sangat dekat, seperti saat ini. Dandi juga mengerti dengan apa yang Bu Imah katakan, walaupun kurang jelas bagi orang lain.

''Ma ayuk aham uwu. Ai omog ama iya aja.'' Bu Imah berpamitan masuk ke dalam.

''Iya Ma. Masuk aja. Dandi di sini dulu.'' Jawab pria itu sambil tersenyum.

Rafa membantu mendorong kursi roda Bu Imah sampai depan tv. Karena sore begini, Mamanya itu suka menonton.

''Nia ke depan yah Ma. Mau ngobrol sama Dandi.'' Rafa mencium pipi Bu Imah sekilas, kemudian kembali menghampiri sahabatnya di teras depan.

Bad and GoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang