BaG #59 Dia pergi

53.4K 3.2K 355
                                    

Di balik keheningan lorong rumah sakit, Logan terduduk frustrasi di sudut ruangan memegang kedua kepala. Matanya menatap kosong lantai tempatnya berpijak. Namun sesekali matanya tertutup saat perih itu menyerang relung hatinya.

Melihat adiknya tak sadarkan diri seperti sekarang membuat seluruh saraf Logan serasa mati rasa. Hampa. Tak tahu harus melakukan apa. Perasaan yang ia rasakan itu bahkan dua kali lipat lebih sakit dari peristiwa tadi malam, ketika ia melihat Rafa dan Fathir berciuman di koridor.

Setiap kali Logan berpikir bahwa ia membenci Fathir, kata hati yang lain selalu berkata bahwa ia sangat menyayangi saudaranya itu. Logan sampai lupa jika sedari kecil ia selalu berusaha melakukan apa saja demi membuat Fathir--si wajah datar tertawa.

Derap langkah kaki terdengar memenuhi lorong, berjalan tergesa-gesa menghampirinya. Logan mendongakkan kepala dan langsung melihat Ayahnya yang berwajah panik, Bunda yang berlinang air mata, dan Rafa yang berdiri di belakang keduanya dengan tampilan berantakan dan wajah membengkak, Logan yakin sekali wanita itu pasti terguncang. Serta ketiga temannya Dandi, Jico dan Zaki. Berjalan di samping Rafa, dengan Dandi yang memeluk bahu Rafa dari samping untuk menenangkan wanita itu agar tidak tumbang.

Bramanto langsung berdiri di dekat Logan, lalu mengangkat bahu anaknya untuk berdiri sejajar dengannya. Sementara Rafa dan ketiga temannya duduk hampa di kursi panjang depan UGD.

"Apa yang terjadi kepada kalian? Kenapa Fathir bisa pingsan?" Bramanto menatap Logan kalap menuntut penjelasan, dan Wanda berdiri di sampingnya mengelus pelan bahunya.

Logan tertunduk pasrah, kemudian menggeleng lemah.

"Fathir bersamamu, Logan! Bagaimana bisa kau tidak tau?! " Bramanto mulai menghardik. Sikap baik dan rendah hatinya lenyap tergantikan dengan sikap garang yang menakutkan.

"Shh, udah Mas. Kamu gak liat Logan juga terpuruk? Ini bukan kesalahannya. Kontrol emosimu, Mas." Wanda terus mengelus bahu Bramanto untuk menenangkan pria itu.

Logan bersama Fathir saat pria itu jatuh pingsan, maka semua orang pasti berpikir bahwa Logan yang menyakitinya. Namun untung saja Wanda masih bisa berpikir jernih untuk tidak ikut menghakimi Logan.

Hingga di detik berikutnya, ruang UGD terbuka, pria jangkung berjas putih keluar dari dalam.

"Bisa bicara dengan wali Fathir Dee Mahardika?" kata pria berkacamata itu menatap satu persatu orang yang berada di luar ruangan.

Bramanto melepas bahu Logan, lalu berdiri di depan dokter itu.

"Saya, Ayahnya."

Dokter bernama Haris itu memperbaiki letak kacamatanya yang agak turun, kemudian memandang Bramanto lurus. "Baiklah... mari ikut saya ke ruangan."

Bramanto dan Wanda lantas bergerak, mengikuti langkah dokter itu dari belakang menuju ruangannya.

♠♠♠

Ketika sampai di dalam ruangannya, dokter Haris duduk di kursi lalu mempersilakan Bramanto dan Wanda untuk mengambil tempat duduk tepat di depannya, dengan meja kerja sebagai perantara mereka.

Sebelum memulai pembicaraan, dokter Haris menarik napas pelan, kemudian mengambil pulpen di saku jas putihnya dan mengambil selembar kertas di atas meja untuk mencatat hasil pemeriksaannya tadi.

"Oke. Saya mulai ya, Pak, Bu." Ia menatap Bramanto dan Wanda bergantian. "Sebelumnya saya ingin bertanya, apa Fathir pernah mengalami kecelakaan parah beberapa bulan ini?"

Wanda dan Bramanto saling menatap penuh tanda tanya kemudian kembali menatap dokter Haris seraya menggelang.

"Setahu kami, beberapa bulan ini Fathir baik-baik saja. Tidak ada kecelakaan parah apapun yang terjadi," jawab Wanda.

Bad and GoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang